TEMPO.CO, Jakarta - Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Muhnur Satyahaprabu mengatakan masyarakat di Kabupaten Lumajang merasa terancam dengan keberadaan usaha pertambangan di wilayah mereka.
“Tambang itu mengurangi kualitas pertaniannya. Mengganggu dan berdampak pada kekeringan air,” kata Muhnur setelah konferensi pers di gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di Jakarta Pusat, Senin, 28 September 2015.
Muhnur mengaku meski belum melakukan penghitungan ekonomi terhadap dampak yang ditimbulkan, masyarakat sering mengeluh karena kegiatan pertambangan dilakukan di dekat area pertanian. “Tambang berdekatan dengan lahan masyarakat, mereka merasa terancam,” katanya.
Lebih jauh Muhnur menjelaskan penolakan masyarakat atas kegiatan pertambangan telah berlangsung sejak lama. “Masyarakat sudah melakukan komplain lebih dari setahun, hampir dua tahun,” kata Muhnur. ”Tapi tidak ada reaksi dari pemerintah. Baru tanggal 26 September ada penegakkan hukum.”
Ihwal kegiatan pertambangan dimulai pada 2014, ketika warga mendapat undangan dari kepala desa untuk sosialisasi pembuatan kawasan wisata tepi Pantai Watu Pecak. Sampai saat ini, hasil sosialisasi tidak pernah terlaksana. “Yang terjadi malah penambangan pasir. Itu masuk wilayah konsesi PT Indo Modern Mining Sejahtera,” kata Muhnur.
Fakta lain yang terungkap adalah bahwa wilayah konsesi tersebut milik Perhutani, sehingga Ken Yusriansyah, anggota Konsorsium Pembaruan Agraria, mengaku telah melakukan berbagai cara agar penambangan ilegal belum berdampak semakin parah. “Kami sudah lakukan berbagai cara dengan melaporkan pihak terkait. Minimal penghentian (kegiatan tambang) sementara,” katanya.
FRISKI RIANA