TEMPO.CO , Jakarta:Tingginya ketimpangan sosial ekonomi diberbagai negara mendapat sorotan masyarakat sipil internasional jelang adopsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/ SDG) 2030 di New York. Catatan lembaga Oxfam Internasional saat ini telah terjadi pemusatan kekayaan di dunia. 50 persen sumber daya alam dikuasai oleh kelompok orang kaya yang jumlahnya hanya 1 persen dari sekitar 8,5 miliar jumlah penduduk dunia.
Tingginya angka ketimpangan itu menjadi topik pembahasan dalam diskusi di luar agenda utama Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bertema Goal 10 SDGs Reducing Inequality: Desirable but is it Feasible?. Diskusi itu diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan lembaga masyarakat sipil internasional di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) pada Dewan Pewakilan Bangsa-Bangsa di New York. Diskusi ini menghadirkan 11 pembicara dan lebih dari 60 orang perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil internasional dari berbagai negara.
Sugeng Bahagiyo, Direktur INFID Indonesia, mengatakan meski jumlah penduduk sangat miskin berkurang namun ketimpangan pendapatan masih tinggi. “Pendapatan masyarakat sangat miskin tumbuh tapi tidak tidak cukup besar,” katanya dalam siaran pers yang diterima Tempo pada Jumat, 25 September 2015. Kondisi itu juga membawa ketimpangan dalam hal angka harapan hidup. Di Indonesia angka harapan hidup orang kaya mencapai 70,8 tahun, sedangkan orang miskin hanya 53 tahun.
Amitha Behar dari Wada Na Todo Abhiyan, organsisasi yang konsen pada masalah kemiskinan di India, mengatakan salah satu penyebab ketimpangan adalah adanya layanan dasar masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan hajat hidup masyarakat diserahkan pada pihak swasta. “Kondisi kesehatan masyarakat di India mengkhawatirkan karena layanan kesehatan telah diprivatisasi,” katanya.
Gonzalo Berron, dari Brazilian Network for Peoples Integration Representative (REPBRIP) mengatakan kondisi itu juga terjadi karena perjanjian perdagangan bebas. Terutama bagi negara yang tidak memiliki sumber daya alam dan manusia memadai. Sedangkan Deborah S. Rogers, Direktur Initiative for Equality (Amerika) dan peneliti dari Universitas Standford Amerika Serikat, menyatakan bahwa ketimpangan adalah masalah sistemik yang sengaja diciptakan penguasa ekonomi. Menurut dia, semestinya pertumbuhan ekonomi mendekatkan pendapatan negara miskin ke negara kaya. “Tapi tidak demikian, karena negara kaya sangat mempengaruhi kondisi ekonomi,” katanya. Karena itu ia mengusulkan adanya pembatasan kerja sama ekonomi atau investasi asing yang tidak sehat.
Mengatasi ketimpangan antarnegara membutuhkan usaha dan kerja sama kuat dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor bisnis agar amanat tujuan SDGs untuk mengurangi ketimpangan bisa tercapai di tahun 2030. PBB akan mengadopsi SDG yang terdiri dari 17 target dan 169 sasaran dalam sidang ke-70 yang berlangsung 25-27 September.
AGUNG SEDAYU