TEMPO.CO, Denpasar - Meski telah dinyatakan sebagai Warisan Budaya Dunia, keberadaan sistem pertanian subak tetap dalam ancaman. Khususnya terkait dengan alih fungsi lahan.
Hal itu diungkapkan ketua tim peneliti dari Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Prof Wayan Windia, saat bertemu dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Jumat, 25 September 2015.
"Saat ini sudah ada 23 area subak yang diakui. Dua puluh subak ada di Kawasan Jati Luwih, Tabanan, dan 3 subak di hulu Tukad Pakerisan, Gianyar," ujarnya. Berdasarkan hasil pemantauan, timnya menginvetarisasi sejumlah persoalan yang mengusik keberadaan lembaga pengairan tradisional berbasis budaya tersebut.
Persoalan yang sedang hangat adalah rencana pembangunan lahan parkir yang memanfaatkan lahan sawah produktif di kawasan Jati Luwih. Padahal, kata Windia, hal itu bertentangan dengan Operational Guidelines UNESCO, yang mengamanatkan bahwa seluruh kegiatan pembangunan harus mendapat nota catatan dari lembaga dunia tersebut. "Perkembangan terakhir, tercapai kesepakatan untuk men-status quo-kan rencana pembangunan itu," ujarnya.
Masalah itu terkait pula dengan kesejahteraan para petani yang memegang peran paling penting dalam menjaga keberlangsungan subak. Sebab, tanggung jawab yang harus diemban para petani sangat berat. Selain masalah kesejahteraan, mereka masih harus menanggung beban pajak dan kendala operasional, seperti keterbatasan air.
Windia berharap pemerintah memberi perhatian lebih serius bagi upaya peningkatan kesejahteraan para petani melalui kegiatan pendampingan agar ada kegiatan ekonomis tapi tak merusak tatanan keberadaan subak. Selain itu, Windia menyarankan agar bantuan pada subak tak diberi sama rata. "Karena tiap subak memiliki jumlah anggota berbeda," ucapnya.
Dalam upaya pelestarian subak, Windia juga mendukung keberlanjutan program lomba. Hanya, dia berharap, dalam pelaksanaannya, tak ditonjolkan kegiatan seremonial yang memberatkan petani.
Gubernur Pastika menyatakan pihaknya berkomitmen membantu pelestarian subak. Tak ada gunanya jika label yang diberikan hanya menjadi sebuah kebanggaan, tapi tak mendatangkan manfaat bagi masyarakat Bali. Karena itu, dia juga berharap kesejahteraan petani menjadi perhatian UNESCO.
ROFIQI HASAN