TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah sedang mempersiapkan sebuah peraturan berupa instruksi presiden yang memperketat pemidanaan pejabat negara akibat diskresi atau kebijakan yang diambil. Salah satu poin dalam draft inpres tersebut ternyata adalah meminta penegak hukum untuk tidak mempublikasikan proses penyelidikan.
Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti membenarkan hal tersebut. Penyelidikan, kata dia, tak boleh dipublikasikan hingga memasuki penuntutan, termasuk pengumuman tersangka.
"Tidak mempublikasikan secara luas kasus-kasus sampai pada tingkat penuntutan," kata Badrodin usai shalat Jumat di Kompleks Mabes Polri, 25 September 2015. "Proses itu (penetapan tersangka) nanti sampai penuntutan."
Namun, ujar lulusan Akademi Kepolisian angkatan 1982 ini, tidak ada publikasi bukan berarti pengawasan publik terhadap kasus pidana terutama korupsi melemah. "Pengawasannya kan tetap berjalan, siapapun bisa memonitor dan mengecek kasus-kasus yang sedang berjalan," kata Badrodin. "Yang dimaksud itu tidak boleh publikasi secara masif, pada saat mulai penyelidikan dan seterusnya sampai penuntutan."
Aturan antikriminalisasi pejabat negara itu dirancang pemerintah menyikapi rendahnya serapan anggaran pemerintah daerah dan kementerian serta lembaga negara. Bahkan, Presiden Joko Widodo meminta penegak hukum tak mudah mempidanakan diskresi atau kebijakan keuangan para kepala daerah.
Akhir Agustus lalu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan inpres itu saat ini sedang dalam tahap sinkronisasi antar kementerian. Setelah sinkronisasi maka akan langsung disampaikan dan diteken Presiden. Ia menargetkan akhir bulan sinkronisasi PP itu sudah selesai di tingkat kementerian. Istana, kata Pratikno, akan mempercepat penerbitan PP karena sangat dibutuhkan untuk mendorong para kepala daerah agar cepat menyerap anggaran.
INDRI MAULIDAR | ANANDA TERESIA