TEMPO.CO, Bandung - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat mengimbau masyarakat agar bisa menerima dan menjunjung tinggi toleransi terkait dengan perbedaan perayaan Idul Adha 1436 Hijriah.
"Masyarakat tidak harus berpolemik, yang terpenting harus saling menghormati, menghargai, dan saling memahami antara satu dan yang lain," ujar Sekretaris MUI Jawa Barat Raffani Achyar saat dihubungi Tempo, Rabu, 23 September 2015.
Menurut Raffani, perbedaan penentuan tanggal 10 Zulhijah sebagai hari Idul Adha bukan pertama kalinya terjadi. Biasanya, kata dia, perbedaan itu terjadi 3-5 tahun sekali. Maksudnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun, kemungkinan terjadi perbedaan penentuan Idul Adha sekitar dua atau tiga kali.
"Perbedaannya bukan kali ini saja, sudah beberapa kali terjadi, jadi suatu kewajaran yang memang sangat dimungkinkan dan sesuatu yang niscaya," ucapnya. "Jadi yang mau hari ini silakan, atau besok pun silakan, karena dua-duanya juga punya hujah (dalil), metodologi yang sah," katanya.
Raffani menilai perbedaan itu masih dalam wilayah pemikiran yang berada dalam koridor fikih (majal al ikhtilaf), yakni paham keagamaan ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dalam pengertian luas.
Sebagaimana diketahui, PP Muhammadiyah telah merayakan Idul Adha pada Rabu, 23 September 2015. Sedangkan pemerintah dan kebanyakan organisasi masyarakat Islam lainnya baru merayakan sehari sesudahnya, yakni Kamis, 24 September 2015.
Raffani menilai Muhammadiyah menggunakan pendekatan hisab dalam pengertian wujudul hilal. Artinya, tidak ada patokan derajat kemunculan hilal. "Mau kurang dari 1 derajat pun asal sudah muncul itu dianggap sudah masuk tanggal 1," tuturnya.
Adapun pemerintah dan ormas lainnya, seperti Nahdlatul Ulama dan PP Persatuan Islam, menggunakan metode in kanu ru'yat. "Yaitu kemungkinan bisa di-rukyat, bisa dilihat, nah itu dalam level kurang dari 2 derajat itu baru bisa dilihat," ujarnya.
AMINUDIN A.S.