TEMPO.CO, Jakarta - Christoph Strausser , Utusan Hak Asasi Manusia (HAM) Pemerintah Jerman, menyoroti berbagai kasus yang bersinggungan dengan HAM. Straussser menjelaskan hasil kunjungannya ke Indonesia kepada sejumlah wartawan di Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Senin, 21 September 2015.
Strausser mengatakan, ia sudah tiga kali ke Indonesia dan berpendapat bahwa hubungan baik terjalin selama ini antara Indonesia dan Jerman. Strausser melanjutkan, ia juga berusaha mencari upaya dialog untuk penyelesaian masalah HAM di Indonesia.
Menurut Strausser, titik berat kunjungannya kali ini adalah kekhawatirannya dengan hukuman mati yang terjadi di Indonesia. “Kita juga bicara mendefinisikan bahwa hukuman mati itu tidak manusiawi, tidak adil, karena itu kita berusaha dengan segala hormat dan toleransi dan segala perbedaan yang kita miliki untuk memiliki posisi yang sama menghapus hukuman mati,” kata Strausser.
Sebelumnya, Strausser melanjutkan, pemerintah Indonesia pernah memberlakukan moratorium untuk hukuman mati. Oleh karena itu eksekusi mati tidak seharusnya dilakukan. “Saya tidak tahu motif apa yang membuat eksekusi dilaksanakan kembali,” kata Strausser.
Masalah HAM penting yang juga menjadi perhatian Strausser adalah kebebasan beragama. Ia mengatakan bahwa di Indonesia ada kebebasan untuk melaksanakan ibadah agama masingimasing. Akan tetapi, ia menyesalkan adanya hubungan yang tidak harmonis dengan agama yang belum diakui undang-undang. “Bagaimana hubungan antaragama dengan mereka yang agamanya belum diakui undang-undang seperti Ahmadiyah. Saya bicara bahwa kebebasan beragama berlaku untuk semuanya,” kata dia.
Strausser berharap ada dialog konstruktif mendapatkan hasil yang baik. Ia menyoroti masalah Papua sebagai situasi yang serius. “Kalau Anda ke Jerman pasti Anda akan sungguh terkejut dengan banyak sekali organisasi yang ada di sana dan membicarakan masalah ini,” kata Strausser.
Meski begitu, menurut Strausse, ada perkembangan yang positif di Papua saat ini.Sebagai gambaran, ia sudah mengajukan izin berkunjung ke Papua sebanyak tiga kali, yakni tahun 2008, 2012, dan 2015. Dua kunjungan terdahulu, pemerintah tidak mengizinkan Strausser berkunjung ke Papua. Barulah tahun 2015, ia mendapat izin berkunjung ke pulau paling timur di Indonesia. "Ini kunjungan yang berarti saya dapat bisa berkunjung ke sana,” kata Strausser.
ARKHELAUS WISNU