TEMPO.CO , Bandung: Warga kampung Cibiru Tonggoh, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung tidak khawatir bakal kekurangan air akibat musim kemarau panjang tahun ini. Meski kekeringan kini sedang merajalela namun warga tidak kekurangan air bersih guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Guna mensyukuri hal itu, warga menggelar upacara Hajat Buruan Perang Cai, pada Minggu, 20 September 2015. Ratusan warga tumpah ruah membanjiri jalanan di sekitaran kampung guna menggelar upacara itu.
Salah satu sesepuh kampung Cibiru Tonggoh Enjang Dimyati, mengatakan upacara itu merupakan bentuk rasa terimakasih karena warga masyarakat tidak sulit mendapatkan air, meski musim kemarau tak kunjung pergi.
"Kita mengingatkan kembali rasa bersyukur kepada para leluhur yang sudah meninggalkan tanda-tanda sumber mata air disini, inilah yang harus kita jaga, kita bangun dari mulai generasi muda sampai yang tua sekalipun," ujar Enjang kepada Tempo seusai upacara itu berlangsung.
Acara dimulai dengan iring-iringan Reak--musik tradisional, yang berkeliling mengitari setiap ruas jalan di perkampungan itu. Bunyi terompet pencak yang khas dibalut dengan tabuhan beberapa alat musik pukul memeriahkan acara itu.
Setelahnya, baru beberapa sesepuh kampung didampingi oleh puluhan anak kecil bersila dan mulai menggelar ruwatan guna memuluskan upacara Perang Air itu. Aroma kemenyan pun cukup akrab dengan hidung warga yang menyaksikan acara itu.
"Ritualnya juga berbentuk doa kepada Allah Swt karena sekarang dalam keadaan kemarau panjang Alhamdulillah di Cibiru Tonggoh ini khususnya di RT 3-4, RW 7 ini tidak kekurangan air sedikit pun," ujarnya.
Acara puncak pun langsung digelar. Warga yang tidak mengenal batas usia ikut memeriahkan acara itu. Mereka berbondong-bondong saling melempar air yang diisikan kedalam plastik. Meski tidak turun hujan namun jalanan di kampung Cibiru Tonggoh basah kuyup akibat upacara itu.
Tidak ada aturan baku dalam pagelaran perang air itu. Setiap warga diperbolehkan saling melancarkan serangan dengan melemparkan air menuju siapa pun, tidak terkecuali orang yang tidak sengaja lewat ataupun warga yang hanya berniat menonton. "Siap aja basah-basahan," ujar salah seorang warga.
Menurut Enjang, selain sebagai bentuk rasa syukur, upacara itupun dimaksudkan sebagai bentuk pengajaran bagi anak-anak agar tahu dan bisa berkontribusi dalam menjaga dan melestarikan sumber mata air yang ada di kampung itu.
Budayawan Sunda, Abah Nanu yang juga mengikuti acara itu, mengatakan upacara itu sangat diperlukan bagi masyarakat. Menurut dia, ritual seperti upacara perang air itu berfungsi sebagai penyokong bagi kelestarian alam.
Menurut Abah Nanu, dalam tradisi masyarakat Sunda, upacara yang berkaitan dengan air itu rutin dilakukan menjelang musim tanam padi. Makanya, dengan adanya upacara itu mudah-mudahan bisa mengakhiri paceklik kekurangan air yang kini semakin mewabah.
"Yang perlu diingat dalam upacara ini yakni, nilai yang disampaikan dalam upacaranya, bukan orangnya," katanya. "Upacara ini pun mengajarkan agar generasi muda bisa dan harus mencintai alamnya," ujar dia.
AMINUDIN A.S