TEMPO.CO, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengkritik tingkah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang ingin menaikkan pula gaji presiden. Hal ini memperlihatkan seolah ada transaksi anggaran yang dilakukan eksekutif dan legislatif.
"Kenaikan tunjangan ini jadi transaksional antara DPR dan pemerintah. Kalian naikkan punyaku, aku naikkan punya kalian. Seolah begitu," ujar Sekretaris Jenderal Fitra, Yenny Soetjipto, saat dihubungi, Kamis, 17 September 2015.
Padahal, menurut Yenny, keuangan negara seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pejabat. Apalagi di tengah memburuknya perekonomian dalam negeri.
"Dalam berbicara tunjangan atau gaji, seharusnya anggota Dewan mengutamakan asas keadilan," katanya. "Bandingkan gaji mereka dengan rakyat yang mereka wakili, jangan dengan menteri atau pejabat negara lainnya."
Selain itu, menurut Yenny, gaji anggota parlemen Indonesia adalah yang terbesar keempat di dunia dibanding parlemen negara lain. Yakni 18 kali lipat dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia per tahun, yang sebesar US$ 3.582.
Setiap tahun, anggota DPR bisa membawa pulang Rp 800-900 juta atau US$ 65 ribu. "Amerika Serikat saja gaji anggota parlemennya hanya 3,5 kali dari pendapatan per kapita penduduk," katanya. "Sedangkan Malaysia sekitar US$ 25 ribu."
Saat ini, gaji pokok anggota Dewan adalah Rp 4,2 juta per bulan. Selain gaji, mereka mendapat berbagai uang tunjangan. Antara lain tunjangan suami-istri Rp 420 ribu, uang paket Rp 2 juta, tunjangan jabatan Rp 9,7 juta, dan tunjangan PPH Pasal 21 Rp 1,5 juta. Belum ditambah uang tunjangan bulanan yang bakal naik bila APBN 2016 diketok. Jadi total take home pay sebesar Rp 58-60 juta per bulan.
Uang itu belum termasuk insentif Rp 10 juta bila tidak mengambil rumah dinas dan uang muka pembelian mobil Rp 150 juta dalam satu periode.
Ada pula uang reses Rp 150 juta setiap kali masa reses, ditambah uang transportasi dan kunjungan ke daerah sebesar Rp 30 juta setiap kali turun ke lapangan.
INDRI MAULIDAR