TEMPO.CO, Jakarta - Dampak kabut asap pekat sisa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera kian meluas. Asap kini berimbas ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Kabut asap memperburuk kualitas udara di negara tersebut.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Kuala Lumpur menunjukkan status tidak sehat dengan angka ISPU 117-146 PSI. Sedangkan Serawak berada pada status tidak sehat dengan angka ISPU 126-156 PSI. Adapun Singapura berstatus sedang dengan angka ISPU 81-92 PSI.
"Hampir 65 persen wilayah Sumatera tertutup asap. Bahkan wilayah selatan-barat daya Malaysia tertutup asap pekat," kata Sutopo, Sabtu malam, 12 September 2015.
Menurut Sutopo, kabut asap membuat jarak pandang terbatas di beberapa wilayah Riau. Pada pagi hari, jarak pandang Pekanbaru, Rengat, dan Dumai hanya 100 meter. Sore hari mulai membaik 1 kilometer. "Kualitas udara di Sumatera dan Kalimantan yang terpapar asap masih tidak sehat hingga berbahaya," ujar Sutopo.
Menurut Sutopo, titik panas di Sumatera hingga Sabtu malam ada 833 titik yang tersebar hampir di semua provinsi se-Sumatera. Sebaran konsentrasinya antara lain di Sumatera Selatan 621 titik, Jambi 100 titik, Bangka Belitung 45 titik, Lampung 25 titik, Riau 14 titik, Bengkulu 10 titik, Sumatera Barat 12 titik, dan Kepulauan Riau 5 titik.
Di Kalimantan terdapat 353 titik panas, yaitu Kalimantan Selatan 110 titik, Kalimantan Tengah 107 titik, Kalimantan Timur 130 titik, Kalimantan Barat 1 titik, dan Kalimantan Tenggara 5 titik.
Sutopo menambahkan, ribuan warga di berbagai daerah di Sumatera melakukan salat istiska untuk memohon hujan. Di media sosial, kini juga merebak ajakan masyarakat menaruh ember berisi air dan garam di atap rumah. Cara ini dipercaya dapat membantu percepatan terjadinya hujan.
Namun hal ini dibantah Sutopo. Menurut dia, untuk membentuk uap air hingga terkondensasi, diperlukan massa uap air yang banyak. Dinamika atmosfer sangat menentukan hujan di suatu wilayah. “Tidak semudah itu membuat hujan dari penguapan air asin dari jutaan ember sekalipun. Ini adalah informasi yang menyesatkan, jadi kami harap tidak usah ikut menyebarkan berita tersebut,” tuturnya.
RIYAN NOFITRA