TEMPO.CO , Jakarta - Pedagang kaki lima di sekitar Monas ikut unjuk rasa kelompok Solidaritas Nasional Pembebasan Indonesia di Istana. Mereka menuntut Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mundur dari jabatannya dan membolehkan untuk berjualan di kawasan Monas.
Menurut Angelo Wake Kako, koordinator lapangan, pemerintahan Jokowi-JK telah berjalan hampir setahun. Mereka menilai kebijakan pemerintah melenceng dari janji kampanyenya dulu. "Harga sembako naik, kegaduhan elite politik makin ramai, nilai tukar rupiah melemah, pemutusan hubungan kerja (PHK), penggusuran dan kebrutalan adalah konsikuensi logis yang harus ditanggung rakyat," ucap Angelo membacakan orasinya, Jumat 11 September.
Menurut Angelo, ketika PHK di dalam negeri marak pemerintah justru memberikan kesempatan kepada investor asing mambwa tenaga kerja asing. Demonstran berjalan kaki dari depan Gedung Dakwah Muhammadiyah di Jalan Menteng Raya menuju Istana di Jalan Medan Merdeka Utara.
Pendemo juga menuntut pemerintah mengembalikan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Maksudnya, mereka menolak kebijakan ekonomi yang mengarah ke ekonomi liberal.
Sejumlah pedagang kaki lima ikut unjuk rasa ini. Idah Satuniati, salah satu pedagang, menuntut pemerintah menyediakan tempat berjualan di sekitar Monas. Menurutnya, saat ini ada 500-an pedagang kaki lima berjualan di luar Monas dengan lapak plastik. Ini di luar Pasar Lengang Jakarta.
"Kami hanya leluasa berjualan pada Sabtu-Minggu, yang dibatasi hanya mulai pukul 05.00-20.00 WIB," ucapnya. "Kalau melewati jam tersebut, kami diusir Satpol PP," kata perempuan 47 tahun ini mengeluh. Belum lama ini Gubernur DKI jakarta Basuki Tjahaja Purnama menertibkan pedagang kaki lima di areal Monas. Sebagian tidak diizinkan berdagang, sebagian yang lain mendapat areal berjualan di Pasar Lengang.
Menurutnya, sejak penertiban pedagang di kawasan Monas, penghasilan Idah dan pedagang lain turun drastis. "Pada Senin sampai Jumat, hanya mendapat Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu sehari. Kami terpaksa mencari pinjaman ke sana ke mari."
REZKI ALVIONITASARI