TEMPO.CO, Padang - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengatakan definisi lembaga negara belum jelas. Dengan demikian, terjadi sejumlah permasalahan dalam proses seleksi pemimpin lembaga negara.
"Lembaga negara itu apa? Belum cukup jelas dalam undang-undang," ujar Irman saat membuka “Konferensi Nasional Hukum Tata Negara” yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat, Kamis malam, 10 September 2015.
Karena itu, kata Irman, tatanan lembaga tersebut harus diluruskan, dari definisi hingga proses rekrutmen pemimpinnya, agar tidak menjadi sumber kegaduhan. Sebab, belum ada tatanan kelembagaan tersebut, termasuk standardisasi proses rekrutmennya. Misalnya, rekrutmen hakim konstitusi. Ada proses seleksi di Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR. Masing-masing memiliki cara berbeda. "Ini harus ditata kembali melalui pendekatan sistem," katanya.
Irman mengatakan, yang harus dilakukan tidak saja reformasi birokrasi, tapi juga harus diiringi reformasi kelembagaan agar demokrasi di Indonesia semakin berkualitas. Dengan demikian, diharapkan lebih tertib dan konsolidasi.
"Bertahap. (Definisi lembaga negara) Bisa dijelaskan melalui revisi undang-undang, dan untuk jangka panjang bisa dimasukkan dalam amendemen Undang-Undang Dasar," tuturnya.
Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie mengatakan institusi negara harus dievaluasi. Termasuk sistem rekrutmennya. "Saat ini geger lembaga, anomali lembaga terjadi suatu guncangan sistem normatif," ucapnya saat menjadi keynote speech pada “Konferensi Nasional Hukum Tata Negara” di Padang, Kamis malam, 10 September 2015.
Sebab, kata Jimly, peraturan perundang-undangan tidak konsisten dan terbakukan dalam menentukan pejabat negara dan yang bukan, serta mana institusi yang disebut lembaga negara dan mana yang bukan. Malah saat ini, ujar dia, penentuannya belum berdasarkan atas kriteria baku. Namun semata-mata bersifat normatif.
Misalnya Komisi Pemilihan Umum yang diatur dalam Undang-Undang Dasar dan dibentuk berdasarkan undang-undang. Namun, dalam undang-undangnya, pejabat dan anggota tidak disebut pejabat negara.
Sedangkan Komisi Perlindungan Anak, Komisi Kepolisian Nasional, anggota Komisi Ombudsman, anggota Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi disebut dalam undang-undang sebagai pejabat negara. Dengan demikian, mereka mendapatkan perlakuan dan hak-hak administratif sebagai pejabat negara.
Karena itu, menurut Jimly, diperlukan penataan struktur kelembagaan dan budaya kerja modern dan inklusif di lingkungan institusi jabatan publik. Salah satu faktor yang turut menentukan sistem dan metode rekrutmen para pejabat publik yang sejak awal harus bersifat inklusif adalah prinsip meritokrasi, yaitu sistem rekrutmen, promosi, dan demosi berdasarkan pertimbangan prestasi kerja.
ANDRI EL FARUQI