TEMPO.CO, Boyolali - Jauhnya lokasi daerah yang mengalami kekeringan serta beratnya medan yang harus ditempuh menyebabkan ongkos pengiriman bantuan air bersih di Kabupaten Boyolali membengkak hingga Rp 300-500 ribu per tangki. Setiap tangki berkapasitas 5.000 liter.
“Padahal harga air bersih per tangki kurang dari Rp 100 ribu,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Boyolali Nur Khamdani di kantornya, Kamis, 10 September 2015. Nur mengatakan biaya pengiriman bantuan air bersih paling mahal untuk Kecamatan Juwangi yang mencapai Rp 500 ribu per tangki.
Sebab, jarak kecamatan yang berada di ujung utara itu sekitar 95 kilometer dari Kabupaten Boyolali. Kondisi jalannya sarat tanjakan dan tikungan. Untuk sekali jalan, berangkat dan pulang, satu mobil tanki membutuhkan bahan bakar sekitar 40 liter. “Masih ditambah ongkos sopirnya dan biaya lain-lain,” katanya.
Sedangkan untuk Kecamatan Musuk, yang berada di lereng Gunung Merapi sisi timur, pengiriman air bersih per tangki menghabiskan biaya Rp 120-150 ribu. Nur mengatakan, setiap memasuki musim kemarau, sekitar 75 persen wilayah Boyolali mengalami kekeringan. Namun hanya 42 desa dari enam kecamatan yang benar-benar dilanda krisis air bersih.
Enam kecamatan yang berada di daerah dataran tinggi itu adalah Musuk, Wonosegoro, Kemiri, Juwangi, Karanggede, dan Ngandong. Musuk terbilang paling parah karena sama sekali tidak memiliki sumber mata air. Kondisinya berbeda jauh dengan Selo dan Cepogo, dua kecamatan di bawah lereng Gunung Merbabu yang kaya sumber mata air.
“Totalnya ada 3.694 keluarga atau sekitar 11.900 orang yang sejak Agustus lalu membutuhkan bantuan air bersih,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Boyolali Purwanto. Sejak awal Agustus hingga 7 September, Purwanto berujar, sudah ada 323 tangki yang didistribusikan ke 42 desa yang kekeringan.
Menurut Purwanto, mahalnya ongkos transportasi bukanlah kendala yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Boyolali untuk mendistribusikan bantuan air bersih. “Soal anggaran, cukuplah. Yang jadi masalah itu jumlah armada tangki yang terbatas (kurang dari sepuluh truk),” katanya.
Di samping itu, sebagian besar desa juga belum memiliki bak penampungan air. Walhasil, proses pemberian bantuan memakan waktu lama karena air bersih dari tangki harus disalurkan ke ember atau jeriken satu per satu.
Karena Boyolali sering mengalami kekeringan tiap tahun, BPBD mengusulkan kepada pemerintah daerah agar diadakan bak penampungan air di tiap dukuh atau desa. “Jadi lebih efisien waktu. Setelah memindahkan air ke bak di desa, truk tangki bisa segera kembali mengambil air,” kata Nur.
DINDA LEO LISTY