TEMPO.CO, Sidoarjo - Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan, masih terdapat 88 berkas ganti rugi korban lumpur yang bermasalah. "Betul, ada 88 berkas yang bermasalah," kata Andi, saat dikonfirmasi Tempo, Rabu, 9 September 2015.
Menurut Andi, berkas ganti rugi korban lumpur yang bermasalah itu sebagian besar terkait dengan status tanah. "Selain masalah waris, ada masalah status tanah kering dan basah. Kalau kata warga, tanah banci," ujarnya.
Sesuai dengan kesepakatan, tanah basah (sawah) dan tanah kering milik korban lumpur dihargai berbeda. Perbedaannya cukup besar. Tanah basah per meter persegi dihargai Rp 120 ribu. Adapun tanah kering Rp 1 juta. Sedangkan bangunan dihargai Rp 1,5 juta.
Karena itu, warga yang sebenarnya memiliki tanah kering tapi oleh Minarak dihitung tanah basah, tidak terima. Untuk warga yang masih tidak sepakat, Andi meminta diselesaikan di pengadilan. "Kalau warga masih tidak sepakat silakan diselesaikan di pengadilan," ujar Andi.
Akibat masalah tersebut sebanyak 88 berkas bermasalah belum bisa dilimpahkan ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk dilakukan validasi dan penandatanganan berkas nominatif. Validasi itu sebagai syarat pencairan dana talangan dari pemerintah untuk ganti rugi korban lumpur Lapindo.
Pemerintah sendiri memberikan dana talangan sebesar Rp 767 miliar pada tahun ini kepada PT Minarak lapindo Jaya selaku juru bayar PT Lapindo Brantas. Uang itu dipergunakan untuk membayar 3.324 berkas ganti rugi korban lumpur yang berada di dalam peta area terdampak.
Berkas ganti rugi yang sudah cair sebanyak 2.909 dengan nilai nominal Rp 644 miliar. Sebelumnya Presiden Joko Widodo menargetkan ganti rugi rampung akhir September. "Target saya, akhir September selesai semua," ucap Jokowi, saat bertemu korban lumpur Lapindo di Sidoarjo beberapa waktu lalu.
NUR HADI