TEMPO.CO, Surabaya - Petani garam di Jawa Timur memprotes masuknya 92 ribu garam impor. Ironsinya, garam impor tersebut masuk saat panen raya.
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Muh. Hasan menilai importasi garam di kala panen raya merugikan petani lokal. “Sudah jelas tidak boleh melakukan impor pada satu bulan sebelum dan dua bulan pascapanen. Kalau ini dilakukan, jelas melanggar,” ujar Hasan saat dihubungi, Minggu, 6 September 2015. Dampak impor selama masa panen itu, kata dia, anjloknya harga garam rakyat dan penyerapan oleh industri.
Sebanyak empat kapal di antaranya atas nama Susanti Megah, PT Sumatraco Langgeng Makmur, dan Unichem Candi Indonesia membongkar muatan garam impor. ”Kapal bersandar dan melakukan bongkar-muat di terminal Jamrud Utara dengan total 92.637 ton,” ujar Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III cabang Tanjung Perak Oscar Yogi Yustiano, Jumat, 4 September 2015.
Hasan menegaskan, pada Juli-November 2015 telah ditetapkan oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin sebagai masa panen raya garam. Ketentuan itu tertuang dalam Surat Menteri Perindustrian Nomor 308/M-IND/6/2015 tanggal 16 Juni 2015.
Hasan tak yakin 92 ribu ton garam impor itu didatangkan untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Sebab, pihaknya menilai pemerintah pusat dan provinsi tak transparan mengenai data jumlah impor dan peruntukan garam tersebut. “Kami tak tahu impor garam industri ini peruntukannya kepada siapa, merembes ke konsumsi atau tidak? Saya meyakini ada rembesan, karena ada indikasi ke sana,” ujar dia.
Dia mengatakan, importir garam berkewajiban menyerap garam rakyat sebesar 50 persen. Namun dari produksi garam rakyat sebesar 1,1 juta setahun, hanya sebesar 10 persen yang diserap perusahaan importir. “Para importir menyerap sangat kecil, hanya 10 persen saja. Sisanya kami jual sendiri langsung ke konsumen di luar Jawa,” ujar Hasan.
Pihaknya meminta pemerintah pusat merevisi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 88/2014 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Garam. Sebab, peraturan tersebut memasukkan garam aneka pangan dalam klaster garam industri, bukan garam konsumsi.
ARTIKA RACHMI FARMITA