TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nur Kholis mengemukakan, bahwa jumlah pengaduan konflik lahan dari masyarakat terus meningkat. Pada 2010 kasus konflik lahan berjumlah 1.018 kasus, dua tahun kemudian meningkat menjadi 1.064 kasus. Jumlah itu terus naik setiap tahun dan melibatkan ratusan ribu warga. "Akibatnya muncul berbagai macam persoalan ketidakadilan, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi," kata Nur Kholis, dalam sebuah diskusi Mengurai Benang Kusut Konflik Lahan yang diadakan oleh Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) di D'resto Cafe, Pasar Festival, Jakarta Selatan, Ahad, 6 September 2015.
Nur Kholis juga menyebutkan konflik lahan adalah persoalan yang paling banyak muncul di Indonesia. Sejak Komnas HAM ini didirikan pada 1993, keluhan pelanggaran HAM yang berkaitan dengan sengketa agraria selalu menempati posisi paling atas. Ada empat institusi yang paling sering diadukan warga terkait dengan konflik lahan, yaitu: kepolisian, korporasi, pemerintah pusat maupun lokal, dan lembaga peradilan. Menurutnya, masyarakat yang akses ekonominya lemah justru paling banyak disalahkan dalam konflik lahan itu. Di sisi lain, lanjutnya, hampir tidak ada penindakan pada korporasi yang melakukan pelanggaran konflik tanah. Karena itu ia berharap pemerintah bisa memberi perhatian dan perlindungan lebih pada hak masyarakat saat berkonflik dengan perusahaan. "Kalau terjadi perselingkuhan korporasi dengan negara, maka masa depan negara ini hampir tidak ada," ucapnya.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Departemen Lingkungan Lembaga Nonpemerintahan Sawit Watch Carlo Nainggolan. "Terjadi sekitar 730 konflik di kebun kelapa sawit baik antara komunitas masyarakat adat, masyarakat lokal, dalam hal ini bisa juga masyarakat transmigrasi. Terutama masyarakat dengan aparatur negara," ujar Carlo. Sebagian besar konflik tersebut adalah sengketa lahan.
Presidium Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) FAA PPMI Harli Muin mengatakan, konflik lahan juga marak terjadi di Jawa. Seperti kasus rencana pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, serta konflik lahan berujung kerusuhan antara warga dan TNI di Urut Sewu, Kebumen. Menurutnya, salah satu penyebab munculnya konflik lahan adalah aturan sektor sumber daya alam di Indonesia yang tumpang-tindih. "Pemerintah perlu mengharmonisasi undang-undang dan aturan yang ada," ujarnya.
Direktur Pembangunan Sarana dan Prasarana Desa Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Gunalan mengatakan, maraknya konflik lahan juga berdampak pada program pembangunan desa. Saat ini ada 74.094 desa yang kesulitan lahan untuk merealisasi program Kementerian Desa. Gunalan mencontohkan kendala yang dihadapi Kementerian Desa dalam membangun sarana dan prasarana di tiga puluh kabupaten tahun ini yang juga terganjal konflik lahan. "Ada beberapa desa yang tidak siap menerima bantuan tersebut karena tidak ada lahan. Dihalangi oleh investor dengan alasan mengganggu perusahaan," katanya. "Permasalahan lahan ini harus dicarikan solusi."
REZKI ALVIONITASARI