Sebagai refleksi atas usia AJI yang sudah lebih dari dua dekade, ada sejumlah isu penting yang menjadi catatan bagi organisasi yang lahir pada 7 Agustus 1994 ini. Pertama, soal kebebasan pers yang masih tak bisa dibilang menggembirakan. Kedua, isu profesionalisme jurnalis dan media. Ketiga, kesejahteraan jurnalis yang juga belum sesuai harapan.
Ada sejumlah hal yang dianggap AJI sebagai ancaman bagi kebebasan pers. Antara lain jumlah kasus kekerasan yang masih cukup banyak dan sejumlah kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan iklim kebebasan pers. Kasus kekerasan terhadap jurnalis selama 2014 sebanyak 40 kasus. Selain itu, kata Suwarjono, yang juga jadi ancaman adalah praktek media abal-abal. "Saat ini kebebasan pers diboncengi oleh orang-orang yang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Inilah yang muncul dalam bentuk media abal-abal," kata Suwarjono.
Ancaman lain bagi kebebasan pers juga datang dari dalam media sendiri, yaitu kepentingan pemilik media. Ini ditandai dengan sikap pemodal media yang menggunakan media yang dimilikinya untuk kepentingan politik. Sikap semacam ini terlihat sangat jelas dari berbagai tayangan dan pemberitaan media selama pemilihan umum legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden 2014 lalu. "Ini yang membuat media bersikap partisan dalam politik," kata Suwarjono.
Selain itu, AJI juga mencatat dengan waswas soal monopoli kepemilikan media. Tren yang terjadi sudah cukup lama dan kian terasa belakangan ini merupakan tren yang berdampak besar dalam jangka panjang. "Ini tren cukup membahayakan. Sebab, praktek monopoli media oleh sejumlah kelompok bisnis saja membuat informasi yang disampaikan (melalui media) kepada masyarakat jadi seragam," kata Suwarjono
Profesionalisme juga menjadi tantangan sendiri di media kita saat ini. Ada sejumlah isu profesionalisme yang ditemukan, antara lain pelanggaran terhadap etika dasar jurnalisme, seperti tidak akurat, tidak menerapkan prinsip cover both side, dan mengabaikan etika dalam peliputan isu anak dan perempuan. Ada sejumlah hal yang dianggap sebagai pemicunya. "Salah satu yang disebut sebagai pemicunya adalah persaingan ketat industri di mana media kemudian hanya mengejar keuntungan,” kata Suwarjono.
Hal lain yang juga tak kalah penting bagi perkembangan pers adalah kesejahteraan jurnalis. Menurut catatan AJI, banyak jurnalis di daerah yang berstatus kontributor dan semacamnya atau yang bekerja di media kecil gajinya di bawah upah minimum. Ini berimbas kepada kualitas jurnalisme yang dihasilkannya. "Mereka yang gajinya tak sesuai kebutuhan atau di bawah upah minimum, ada yang melakukan malpraktek dengan menjadi wartawan amplop atau malah memeras dan semacamnya," kata Suwarjono. Ada juga sejumlah media yang membolehkan jurnalisnya mencari iklan. Akibatnya, berita yang dihasilkannya jauh dari standar jurnalisme karena sarat nuansa promosinya.
NS