TEMPO.CO, Yogyakarta - Dosen komunikasi visual Insititut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko, menegaskan, tata ruang untuk publik di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tak layak disebut istimewa sebagaimana status gelar istimewa yang disandang daerah tersebut. Hal itu lantaran tata ruang DIY telah terkontaminasi oleh lima jenis sampah yang membuat DIY tak nyaman untuk publik.
Sampah pertama adalah sampah arsitektur, karena rancang bangun di wilayah DIY tidak mengadopsi arsitektur bergaya Yogyakarta. “Melainkan minimalis,” ujar Sumbo, dalam diskusi keistimewaan dengan tema "Ruang Publik DIY" di aula kantor Dinas Kebudayaan DIY, Selasa, 1 September 2015.
Baca Juga:
Kemudian ada sampah visual yang bertebaran di sepanjang jalan berupa papan-papan iklan komersial ataupun kampanye partai. “Biarkan ruang publik itu milik publik. Jangan jadi milik merek dagang dan partai politik,” katanya.
Ada pula sampah trotoar, yang kehilangan ruang terbuka hijau. Sampah kendaraan bermotor ditandai dengan kemacetan dan polusi. Serta sampah pedagang kaki lima yang banyak menggunakan area publik. “Persoalannya, itu dibiarkan karena perizinannya menggunakan konsep bijaksana dan 'bijaksini',” ujarnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY Tavip Agus Rayanto setuju dengan kritik Sumbo. Tapi, sebagaimana pejabat pemerintah, dia berkilah bahwa volume pertumbuhan penduduk dan kendaraan bermotor tak sejalan dengan luas ruang publik. Jumlah mobil meningkat lebih dari 10 ribu per tahun di DIY dan jumlah penduduk naik lebih dari satu persen per tahun. Sedangkan luas lahan berkurang 285 hektare per tahun akibat alih fungsi lahan. “Banyak sawah jadi tembok,” katanya.
Apalagi, ujar dia, kewenangan perizinan ada di pemerintah kabupaten dan kota. “Selama ini, DIY tak berdaya soal perizinan,” ucapnya.
Tavip hanya bisa berharap, dengan konsep keistimewaan tata ruang yang diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY, penataan tata ruang tidak sebatas mengandalkan status keistimewaan, melainkan harus komplementer dengan aturan tata ruang nasional. “Biar tata ruang di Yogyakarta itu jadi role model tata ruang Indonesia,” tuturnya.
Salah satu gebrakannya, kata Tavip, meskipun perizinan berada di pemerintah kabupaten/kota, yang melakukan studi kelayakan adalah pemerintah DIY. “Jadi kalau enggak layak, ya izin enggak keluar. Itu upaya win-win solution-nya,” ujarnya. Tapi dia tak menjelaskan apa yang akan dilakukan pemerintah DIY jika pemerintah kabupaten/kota tetap memberi izin.
PITO AGUSTIN RUDIANA