Menurut dia, ada tiga hal yang menjadi faktor penyebab mengapa toilet itu kotor atau tidak layak. Yakni masalah kemiskinan yang menyebabkan tidak adanya anggaran untuk memelihara, tidak tersedianya air yang cukup, serta pendidikan tentang praktek pemakaian toilet yang kurang tepat. “Unhas tidak punya alasan untuk toilet kotor. Air kita melimpah, anggaran banyak, dan ada banyak orang terdidik,” kata Triyatni.
Dosen yang sebelumnya menyelesaikan magister di jurusan pengelolaan lingkungan hidup ini menyatakan bahwa perilaku terkait dengan pemakaian toilet publik, khususnya di Unhas, tidak serta-merta harus menyalahkan mahasiswa atau civitas academica yang ada di dalamnya.
Unhas, kata Triyatni, dihuni orang-orang yang terdiri atas latar belakang suku sekaligus kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Setiap orang yang masuk ke Unhas, menurut dia, bukannya tidak mau bersih, tapi bisa saja ada persepsi atau makna bersih yang berbeda sesuai dengan budaya masing-masing. Ditambah dengan tidak adanya proses pengenalan atau internalisasi budaya baru.
Selama ini tidak ada proses memperkenalkan budaya berbeda atau internalisasi budaya baru bagi warga baru yang akan masuk ke Unhas. “Jadilah mereka datang dengan budaya sendiri-sendiri seperti berjalan di hutan belantara,” kata Triyatni. Seharusnya ada pengenalan. Di negara-negara beradab, ketika akan masuk ke salah satu lokasi, kita akan diajak berkeliling mengenal aset-aset terlebih dahulu.
Dalam hal penggunaan toilet pun, kata Triyatni, harus disesuaikan dengan karakter budaya yang ada. Masyarakat Indonesia, menurut dia, lebih suka memakai toilet basah, tapi dia pun tidak melarang jika toilet dirancang untuk jenis toilet kering. “Apa pun jenis toilet yang dipilih dalam rancangan, rancangan itu harus dikenal oleh publik. Jika tidak dikenal, maka harus dikenalkan. Kalau pakai toilet yang canggih, ya, harus diajarkan kepada publik.”
Orang Indonesia banyak yang suka model toilet basah, tapi ada juga fakta yang menyebutkan bahwa, karena mobilitas masyarakat Indonesia yang tinggi, banyak juga yang suka model toilet kering. “Maka buatlah dua model,” kata Tri. Membuat toilet basah dan toilet kering sekaligus, konsekuensinya adalah lebih mahal. Menurut dia, hal itulah yang mesti dibayar untuk keragaman budaya yang kita miliki.
“Kebiasaan kita masyarakat Indonesia itu belum merasa bersih jika tidak memakai air untuk membersihkan diri saat berada di toilet, dan terkait dengan posisi kita saat buang air besar itu akan merasa lebih enak jika memilih posisi jongkok ketimbang duduk,” kata perempuan yang lahir 58 tahun lalu ini.
MUHCLIS ABDUH | IRMAWATI