TEMPO.CO , Bojonegoro: Hidup terpencil di pinggir hutan jati dan jauh dari perkotaan membuat warga Samin tidak terlalu merasakan lemahnya nilai tukar rupiah atas dolar. Kiatnya sederhana, menyimpan padi dan menjual hasil kebun, berupa tanaman polo pendem, seperti singkong, ketela, gembili dan sejenisnya.
Warga Samin, berada di Dusun Jepang, Desa/Kecamatan Margomulyo, berlokasi sekitar 72 kilometer arah barat daya Kota Bojonegoro, Jawa Timur. Di dusun yang dilewati Sungai Tapan, anak Sungai Bengawan Solo ini, hidup sekitar 1.200 jiwa atau sebanyak 217 kepala keluarga. Di kampung ini, terdapat tokoh bernama Hardjo Kardi,81 tahun, yang masih punya garis keturunan ketiga Mbah Samin Surosentiko alias Raden Kohar, pendiri ajaran Samin—paham yang awalnya muncul atas semangat menentang penjajah Belanda.
Menurut Bambang Sutrisno, anak dari Mbah Hardjo Kardi, warga di kampungnya, sudah terbiasa hidup mandiri. Yang paling sederhanya misalnya, saat krisis ekonomi di mana harga-harga barang mahal, warga Dusun Jepang menanggapi dengan biasa. Contohnya, untuk urusan kebutuhan hidup, warga Samin memilih menyimpan padi hasil panen akhir Juni dan awal Juli. Padi dikonsumsi sendiri dan sebagian disisihkan untuk benih, pada saat musim penghujan datang.”Jadi, untuk kebutuhan makan, dirasa cukup,” ujarnya pada Tempo Sabtu 29 Agustus 2015.
Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari, warga bercocok di areal perkebunan dan hasilnya dijual ke pasar. Tanamannya berupa polo pendem, seperti singkong, ubi, gembili, talas dan sejenisnya. Selain itu, juga tanaman polowijo, berupa kedelai, kacang tanah, terong, dan juga bawang merah.
Namun, kaata Bambang Sutrisno, untuk polo pendem, warga menjual dengan harga yang relatif murah. Untuk ubi dan singkong misalnya, sengaja dijual dengan harga murah, yaitu Rp 800 perkilogramnya. Pun juga tanaman lain, seperti sayuran berupa bayam, terong. Pembelinya berasal dari luar kampung, di antaranya dari warga Kabupaten Ngawi.
”Kebutuhan ekonomi dirasa cukup,” kata pria yang sehari-hari tercatat sebagai Pegawai Negeri di Kecamatan Margomulyo tersebut.
Kemandirian warga Samin di Dusun Jepang, juga terlihat dari kehidupan sosialnya. Meski jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota, warga di kampung pinggir hutan jati ini, menjunjung toleransi tinggi dan menjunjung paham Samin. Terutama, soal kehidupan berkeadilan, kerukunan dan tentu juga menjaga hubungan kekerabatan.
Menurut Bambang Sutrisno, ajaran Samin mengenal istilah “Ojo drengki, srei, tukar padu, dah pen kemiren, mbedog colong" atau orang tidak boleh dengki, iri, perang mulut dan mencuri. Ajaran yang disebarkan buyutnya, Samin Surosentiko sekitar tahun sekitar tahun 1880-an itu, masih dipegang teguh, warga di Dusun Jepang. “Datangnya juga kemakmuran,” imbuhnya.
Kepala Desa Margomulyo, Nuryanto, mengatakan, warga Dusun Jepang, sebagian besar pekerja di sektor pertanian. Namun, dalam beberapa tahun ini, sudah ada yang menjadi Pegawai Negeri Sipil, polisi, dan juga belajar agama. Kondisi kehidupan sosialnya relatif terjaga, karena beberapa orang tua masih patuh dengan faham Samin. “Terutama tentang kerukunan sesama warga,” ujarnya pada Tempo kemarin.
Makanya, lanjut Nuryanto, kehidupan rukun warga Samin di Dusun Jepang, banyak dijadikan acuan sejumlah peneliti, tokoh politik dari tingkat lokal hingga yang menjadi anggota DPR RI, pengusaha, dan juga sejumlah Bupati/Walikota dan juga Gubernur di Jawa Timur.
SUJATMIKO