TEMPO.CO, Pamekasan - Industri batik tulis tradisional di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, mulai terkena dampak pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Usman, pemilik usaha batik tulis rumahan di Desa Akkor, Kecamatan Palengaan, mengatakan dampak loyonya rupiah terlihat dari naiknya harga bahan baku pembuatan batik, seperti kain dan bahan pewarna batik. "Naik sejak sepekan terakhir, sejak ramainya pemberitaan rupiah di televisi," kata Usman, Sabtu, 29 Agustus 2015.
Pada penutupan perdagangan Jumat, rupiah berada di posisi 13.983 per dolar AS.
Usman mencontohkan harga kain kualitas pertama naik dari Rp 11 ribu menjadi Rp 15 ribu per meter. Adapun kain kualitas dua, naik dari Rp 10 ribu menjadi Rp 12 ribu per meter. "Begitu juga harga bahan pewarna, rata-rata naik Rp 2.000 hingga 3.000 per item," ujarnya.
Kondisi ini, Usman melanjutkan, diperparah oleh sepinya pesanan batik dari pedagang, meski harga jual batik tidak dinaikkan. Omzet yang terus menurun membuat dia terpaksa merumahkan sebanyak 33 karyawannya sepanjang 2015. "Dulu saya pekerjakan 40 karyawan, sekarang tersisa tujuh orang."
Terpisah, Lutfiyah, pedagang batik di Pasar Batik 17 Agustus Kota Pamekasan membernarkan sepinya pasar batik. "Kadang sehari tidak ada pembeli," katanya.
Kondisi serupa, kata dia, pernah terjadi enam tahun lalu. Saat itu, Pemerintah Kabupaten Pamekasan membuat kebijakan untuk menyelamatkan industri batik lokal. Caranya, bupati mewajibkan pemakaian seragam batik tulis lokal bagi pejabat, pegawai dan siswa sekolah. Kebijakan itu mampu membuat pasar batik kembali menggeliat.
Dia berharap pemerintah kembali mencari terobosan program agar pasar batik bisa kembali normal. "Sekarang kebijakan itu tidak lagi diterapkan," kata Lutfiyah.
MUSTHOFA BISRI