TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Eka Sastra mengungkapkan dana daerah yang mengendap di Bank Pembangunan Daerah (BPD) mencapai Rp 273 triliun. Hal ini terjadi akibat pemerintah daerah lebih banyak berpikir bisnis.
"Uang itu diendapkan demi mencari bunga, padahal bisa dijadikan kredit produktif untuk petani dan nelayan," ujar Eka dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 29 Agustus 2015.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan tren pengendapan dana di BPD cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada 2012, ada Rp 199 triliun yang mengendap, dan meningkat menjadi Rp 230 triliun pada 2013. "Mestinya ini jadi lampu kuning bagi pemerintah pusat untuk mengerem ini," ujarnya.
Menurut Robert, ada dua solusi yang bisa dilakukan pemerintah pusat untuk menghalangi Pemda mengendapkan dana. Pertama, Bank Indonesia bisa mengeluarkan aturan kepada BPD atau bank komersil lain tempat Pemda menabung, bahwa 30 persen dana tersebut harus disalurkan sebagai kredit produktif bagi nelayan atau petani.
Kedua, kalau dana itu tidak digunakan, maka pemerintah mengkonversi kembali dana itu menjadi surat utang negara. "Karena dana transfer dasarnya dibiayai dari surat utang negara. Jika Pemda tidak bisa menjalankan, maka tahan saja menjadi surat utang," ujar Robert.
Menurut Robert, sebelum masa tenor atau sebelum masa utang selesai, dana itu baru bisa dicairkan. "Atau solusi lain, dijual ke pasar sekunder," kata dia.
Pemerintah pusat tengah kebingungan melihat minimnya serapan anggaran di daerah-daerah. Provinsi DKI Jakarta saja, hingga Juli 2015, baru mampu membelanjakan 19,4 persen dari total Rp 69,28 triliun APBD-nya. Rendahnya serapan anggaran berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, apalagi di tengah sulitnya investasi asing masuk ke Indonesia akibat krisis ekonomi global.
INDRI MAULIDAR