TEMPO.CO, Banyuwangi – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menyarankan agar pria bernama Tuhan asal Banyuwangi memilih dua opsi: menambah nama atau mengganti. MUI menilai, penambahan nama tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan penafsiran yang menyekutukan Tuhan atau syirik. Selain itu, nama Tuhan kurang pantas dari sudut pandang etika agama. (Baca: Geger Pria Bernama Tuhan, MUI Sodorkan Dua Pilihan)
Tapi seruan MUI bisa keliru bila pandangan sejarahwan ini sahih. Sejarawan Banyuwangi, Jawa Timur, Suhalik, mengatakan, nama tuhan sebenarnya sudah dipakai sejak era Kerajaan Majapahit. "Penyebutan tuhan tertulis dalam Kitab Nawanatya, yang mengatur soal organisasi pemerintahan dan jabatan di Kerajaan Majapahit," tuturnya, Kamis, 27 Agustus 2015.
Bila ada etnis Using Banyuwangi yang menggunakan Tuhan sebagai nama, Suhalik menganggap hal itu wajar. Sebab dalam sejarahnya, Banyuwangi yang dulu bernama Blambangan pernah menjadi pengikut (vassal) Majapahit. Masyarakat etnis Using pun dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Jawa kuno Majapahit.
Etnis Using Banyuwangi yang beragama Islam, kata Suhalik, menyebut Sang Pencipta dengan sebutan”Pangeran” atau “Gusti Allah”. Oleh karena itu dia tak sepakat jika MUI meminta si tukang kayu bernama Tuhan mengganti atau menambah namanya.
Pendapat lainnya disampaikan budayawan Banyuwangi, Samsudin Adlawi. Samsudin mengatakan, kemungkinan nama Tuhan sebenarnya adalah Tohan. Itu merujuk dari sejumlah nama Tohan yang banyak dipakai di beberapa desa di Banyuwangi, seperti Madtohan, Satohan, dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam bahasa Using, nama Tohan sendiri tak memiliki arti.
Menurut Samsudin, selama ini masih ada perbedaan antara penulisan dan pengucapan bahasa Using Banyuwangi. Kata yang pengucapannya o ternyata ditulis huruf u. “Barangkali ketika dia membuat KTP atau ijazah yang seharusnya 'o' ditulis 'u',” kata Samsudin yang juga ketua Dewan Kesenian Blambangan.
Heboh nama Tuhan bermula dari seorang tukang kayu asal Dusun Krajan, Desa Kluncing, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur. Pria 42 tahun itu mendadak terkenal setelah KTP-nya diunggah seorang netizen di media sosial Facebook. MUI dan PBNU kemudian bereaksi dan meminta Tuhan mengganti atau menambah namanya.
Sejak itulah wajah Tuhan kerap kali hadir menghiasi layar televisi, media cetak, dan sejumlah media daring (online) dalam sepekan terakhir. Ayah beranak dua itu barangkali tidak pernah menyangka ia bakal menjadi pesohor. Hanya karena bernama Tuhan, ia lantas mendadak menjadi buruan awak media.
Jika publik sekonyong-konyong heran dengan namanya, Tuhan justru merasa nama pemberian orang tuanya itu tak bermakna khusus. "Selama ini semuanya biasa saja, tak ada yang bertanya maupun melontar guyonan," ujar Tuhan di rumahnya, Desa Kluncing, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu, 22 Agustus 2015. Tuhan mengaku sebutan itu memang nama asli pemberian kedua orang tuanya, Jumhar dan Dawijah.
IKA NINGTYAS