TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo meminta agar Sekretaris Kabinet membuat surat edaran tentang aturan mengenai kesalahan administrasi yang tak bisa dipidana. Hal itu dilakukan agar para pejabat daerah tak takut mengeksekusi program yang sudah direncanakan.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan bahwa surat edaran itu akan dikirimkan ke daerah. "Intinya, yang bersifat kebijakan tak bisa dipidanakan. Kedua, permasalahan administratif diselesaikan secara administratif juga," kata Pramono di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2015.
Pramono membantah bahwa langkah Jokowi memintanya membuat surat edaran ini bertujuan memperlonggar adanya potensi penyelewengan. "Sebaliknya, jika terdapat pencurian atau penyelewengan, kewenangan kejaksaan, kepolisian, serta KPK akan semakin didorong oleh Presiden," ujarnya.
Diakui Pramono, karena adanya kekhawatiran dipidana, para pejabat daerah tak berani mencairkan anggaran. Akibatnya, anggaran banyak yang tertahan di bank daerah. Nilainya pun tak kecil, Rp 273 triliun.
Pada Senin, 24 Agustus 2015, Jokowi mengumpulkan semua gubernur, kepala kejaksaan tinggi, kepala kepolisian daerah, serta penegak hukum lainnya. Pertemuan itu membahas kesepakatan agar tak ada lagi kriminalisasi terhadap kesalahan administrasi. Sebab, kesalahan administrasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
Dari pertemuan itu, kata Pramono, ada jaminan bagi kepala daerah untuk menggunakan anggarannya. "Selama mereka tak mencuri, maka mereka diberi jaminan secara hukum," tuturnya.
Dasar hukum lain yang melindungi para kepala daerah adalah undang-undang yang mengatur peran Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Menurut Pramono, dengan peraturan itu, temuan dugaan penyelewengan tak akan langsung masuk ranah hukum. Pelaksana proyek akan diberikan waktu 60 hari untuk melakukan perbaikan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie menganggap arahan Presiden bahwa diskresi keuangan kepala daerah tak bisa dipidana perlu dicermati. Alasannya, motif kejahatan bisa jadi direncanakan. "Kita tidak mengadili kebijakannya, tapi motif jahatnya," ucap Jimly, yang ikut seleksi pemimpin KPK di gedung Sekretariat Negara, Selasa, 25 Agustus 2015.
Jimly mengatakan kejahatan selama ini lebih sering dikaitkan dengan the quality of spending, bukan the quality of planning. "Jangan-jangan kejahatan lebih banyak terjadi saat planning, bukan saat spending," kata pakar hukum tata negara Universitas Indonesia itu.
FAIZ NASHRILLAH | TIM KORAN TEMPO