TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia, Selasa, 25 Agustus 2015. Para keluarga korban kerusuhan 1998 Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II menjadi pemohon pengujian kembali Pasal 20 ayat 3 UU Pengadilan HAM ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal yang berbunyi "Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut." Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan “kurang lengkap” adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan.
Menurut kuasa hukum pemohon, tidak jelasnya penafsiran Pasal 20 ayat 3 UU Pengadilan HAM mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Sejak tahun 2000, Komnas HAM sudah menyerahkan tujuh berkas perkara penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Namun, hingga saat ini, Jaksa Agung belum menindaklanjuti perkara tersebut dengan alasan berkas pelaporan belum lengkap.
“Kami berharap MK bisa segera menafsirkan pasal 20 ayat 3, khususnya frasa tentang kurang lengkapnya berkas yang terus dikembalikan oleh kejaksaan selama 13 tahun ini,” kata Krisbiantoro, kuasa hukum pemohon, yang ditemui di gedung MK, Selasa, 25 Agustus 2015. Dalam sidang ketiga ini, pihak penggugat berharap segera ada tafsiran yang jelas tentang Pasal 20 ayat 3 UU Pengadilan HAM.
Krisbiantoro juga mengatakan bahwa sidang kali ini sudah sampai pada tahap pemeriksaan saksi, yang merupakan keluarga korban. Tujuannya untuk memaparkan kerugian materiil dan imaterial yang telah dialami saksi selama 13 tahun sejak tahun 2002 hingga sekarang. “Kami ingin membuktikan melalui kesaksian saksi. Korban sangat dirugikan, baik materiil, imaterial, maupun secara konstitusional, karena tidak adanya kepastian hukum yang jelas,” ujarnya.
BIMA SANDRIA