TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Adnan Pandu Praja menunjukkan dokumen kebijakan pemerintah dalam pemilihan kepala daerah. Dalam dokumen setebal delapan halaman itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan partai politik agar menggelar tes integritas dalam menjaring calon kepala daerah. “Pemerintah ada niat baik, tapi partai mempunyai cara pandang berbeda,” kata Pandu di kantornya, Kamis pekan lalu.
Jangankan menggelar tes integritas, sejumlah partai malah mencalonkan bekas terpidana korupsi sebagai kepala daerah. Pandu mahfum tindakan partai tersebut diizinkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun dia khawatir rekam jejak buruk seseorang berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinannya di kemudian hari. “Partai dan MK melihat kualitas dengan definisi yang berbeda, tapi saya melihatnya ini sebagai kemunduran,” ujarnya. Indikasi lainnya, ada calon yang harus membayar mahar demi mendapatkan rekomendasi dari partai.
Itulah sebabnya komisi antirasuah enggan berpangku tangan. KPK membentuk tim untuk memantau proses pemilihan, yakni sejak tahap awal hingga kelak pencoblosan. Saat ini tim beranggotakan 50 orang dari bagian penelitian dan pengembangan serta divisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Mereka mulai bekerja dengan membuka posko penyerahan LHKPN pada Juli lalu. Tim bertugas memverifikasi laporan kekayaan para kandidat. “LHKPN bisa menjadi kontrol saat mereka sudah menjabat,” ucap Pandu.
Jumlah tim sebenarnya fleksibel. Pandu mengatakan KPK mengawasi lalu lintas uang dalam tahapan pemilihan. Bila ada informasi mengenai serah-terima besel, KPK langsung menggelar operasi. Pemimpin KPK seketika menambah personel dari bagian Pengaduan Masyarakat dan Penindakan. Pandu menginginkan ketika pemilihan kepala daerah serentak digelar pada 9 Desember 2015, KPK berhasil meringkus pelaku korupsi lewat operasi tangkap tangan alias OTT. “Harus ada OTT agar ada pembelajaran.”
KPK berkaca pada Pemilihan Umum 2014. Menurut Pandu, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kalah menudingkan telunjuk ke Komisi Pemilihan Umum di daerah. KPU daerah memang berperan sentral dalam penghitungan suara. Namun kongkalikong juga terjadi antara kontestan pemilihan dan Panitia Pengawas Pemilu. “Permainan semakin canggih,” ujarnya.
Pandu menyadari jika hanya mengandalkan personel sendiri, tangan KPK tak akan bisa menjangkau 269 daerah yang menggelar pemilihan serentak tahun ini. Dia juga tak ingin anak buahnya gagal dalam operasi tangkap tangan hanya karena kekurangan informasi. Karena itu, KPK berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat dan berbagai mitranya di daerah. “Saat pemilihan legislatif lalu kami sudah berusaha, tapi datanya kurang akurat. Hanya ‘katanya’ saja.”
Selanjutnya >> KPK mengawasi khusus 10 daerah...