TEMPO.CO, Kediri - Wilma Van Der Maten, seorang jurnalis televisi asal Belanda, mengatakan teknik pengambilan gambar oleh jurnalis televisi Indonesia terlalu kering dan kaku hingga tak menggugah emosi penonton. “Karena kalian tidak menggunakan perasaan saat mengambil gambar,” kata Wilma di Combi Café Jalan Soekarno Hatta Kediri, Sabtu, 22 Agustus 2015.
Wilma mengatakan pengambilan gambar di lapangan yang terikat pada pakem dan aturan yang ditetapkan perusahaan televisi telah membunuh sensitivitas jurnalis. Hal ini membuat pola pengambilan gambar menjadi monoton dan cenderung membosankan. Padahal, informasi maupun pesan yang harus disampaikan kepada masyarakat sangat besar dan berbobot.
Dalam forum workshop Video Journalism yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri bekerja sama dengan Federatie Nederlandse Vakbeweging (FNV) di Combi Café Kediri tersebut, jurnalis diminta membuat persiapan yang matang sebelum turun ke lapangan.
Memiliki pengalaman kerja lebih dari 24 tahun di berbagai medan perang di berbagai negara, Wilma menggugah kesadaran para jurnalis televisi Indonesia untuk keluar dari pakem. Dia menguraikan pengambilan gambar yang bagus dan hidup selalu diawali dengan interaksi dan informasi yang banyak tentang narasumber. “Jangan terlalu banyak narasi karena ini televisi, bukan Koran,” kata Wilma.
Kebiasaan menyodorkan kamera kepada orang asing menjadi kelemahan jurnalis tanah air hingga meloloskan momentum penting yang seharusnya lebih hidup. Hal ini kerap terjadi saat mewawancara orang yang tertimpa musibah dengan pertanyaan bodoh seperti, ”Bagaimana perasaan Anda saat ini,” dengan berharap sang narasumber akan menjawab dengan untaian air mata.
Baca Juga:
Wilma menekankan bahwa tak semua peristiwa harus tergambar secara vulgar. Interaksi yang bagus dan panjang dengan narasumber akan membawa jurnalis pada momentum kesedihan secara natural. Pada kasus di atas, juru kamera bisa merekam adegan di mana sang narasumber melakukan aktivitas hariannya dengan sedih. Di sinilah kepekaan jurnalis dibutuhkan untuk merekam ekspresi kesedihan tanpa harus dijelaskan dengan wawancara dan narasi.
Ketua Panitia Workshop Fedho Pradistya mengatakan pelatihan ini menjadi salah satu upaya meningkatkan kapasitas jurnalis televisi menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Dia berharap para jurnalis khususnya anggota AJI bisa mengikuti dinamika perkembangan televisi internasional untuk meningkatkan nilai tawar kepada perusahaan tempatnya bekerja atau perusahaan asing. “Ini penting karena pelatihan dari perusahaan nyaris tak ada,” katanya.
Pelatihan ini diikuti lebih dari 30 jurnalis televisi dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, Malang, Banyuwangi, Ponorogo, dan Madiun. Diharapkan usai mengikuti pelatihan ini mereka bisa meningkatkan kualitas pengambilan gambar di lapangan.
HARI TRI WASONO