TEMPO.CO, Pontianak - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tengah memikirkan untuk membentuk badan otoritas yang mengelola khusus cagar budaya.
“Apalagi world heritage, jangan terlalu banyak tangan,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Arief Yahya pada acara Karnaval Khatulistiwa di Pontianak, 22 Agustus 2015.
Menurut Arief, mengelola situs sejarah, manajemennya harus hand to hand, tidak boleh banyak tangan. “Kita kasih perbandingan. Orang datang ke Borobudur 250 ribu pengunjung (per tahun) sedangkan Angkor Wat 2,5 juta (pengunjung). Padahal Borobudur jauh lebih besar dan lebih tua.”
Dengan adanya badan khusus yang mengelola cagar budaya, ucap Arief, maka akan lebih maksimal untuk memasarkan Borobudur sebagai tujuan wisata ke manca negara.
Tokoh masyarakat Kalimantan Barat, Max Yusuf Alkadrie (65) meminta agar cagar budaya di Kota Pontianak dan kota-kota Indonesia lainnya jangan dipugar dengan tidak memikirkan arsitektur awal bagunan tersebut. “Apalagi ada kepentingan politis untuk menghilangkannya,” katanya.
Max mencontohkan tugu peringatan Peristiwa Mandor yang diratakan dengan tanah, era Orde Baru. Pemerintah daerah harus lebih tanggap untuk melihat hal ini sebagai potensi wisata, sekaligus peluang menggerakkan sector ekonomi daerah.
Max berkata, pariwisata yang maju, akan mendorong multiplier effect di daerah tersebut. “Lebih kuat jika kemudian dibentuk Peraturan Daerah mengenai Cagar Budaya. Cantolan atasnya adalah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.”
Menurut Max, kegiatan Karnaval Khatulistiwa merupakan momentum awal untuk segera menata potensi wisata yang ada di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Saat ini, Kota Pontianak belum memiliki Perda Perlindungan Cagar Budaya.
ASEANTY PAHLEVI