TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) melakukan penelusuran terhadap nama calon kepala dan wakil kepala daerah. Hasilnya, terdapat 188 calon kepala daerah yang pernah terlibat kasus hukum dan 59 calon wakil kepala daerah yang sempat bermasalah.
“Ini terjadi karena MK memutuskan bagi mereka yang pernah terlibat kasus korupsi diperbolehkan kembali mencalonkan diri dalam pilkada 2015 asal sudah menjalani hukumannya, dan itu merupakan putusan terburuk,” ujar anggota koalisi tersebut, Donald Paris, Kamis, 20 Agustus 2015, dalam diskusi “Partai Politik Diharapkan Menghasilkan Kepala Daerah yang Bersih”.
Berdasarkan penelusuran KoDe, calon kepala daerah yang pernah terlibat kasus hukum paling banyak diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan jumlah 60 orang. Partai yang paling banyak mengusung calon bermasalah berikutnya adalah Partai Amanat Nasional dengan 56 orang, Partai NasDem 52 orang, Partai Demokrat 51 orang, Partai Gerakan Indonesia Raya 49 orang, dan Partai Keadilan Sejahtera 47 orang.
Selanjutnya adalah Partai Hati Nurani rakyat dengan calon bermasalah sejumlah 46 orang, Partai Kebangkitan Bangsa 42 orang, Partai Golongan Karya 33 orang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 26 orang, Partai Bulan Bintang 22 orang, dan Partai Persatuan Pembangunan 15 orang.
“Dari data kuantitatif yang dilakukan KoDe, ada dua garis besar: kasus hukum yang terkait langsung dan tidak terkait langsung,” ujar Donald. Aktivis ICW itu menjelaskan, masyarakat diimbau agar tidak lagi memilih calon kepala daerah mantan narapidana kasus korupsi.
Saat berdiskusi, anggota KoDe lain, Titi Angraeni, dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi menuturkan banyak partai politik yang tidak peduli terhadap isu utama di masyarakat, yaitu antikorupsi. Justru banyak partai yang membiarkan anggotanya yang terlibat kasus korupsi mencalonkan diri kembali.
“Isu pilkada langsung tidak menghasilkan output baik untuk demokrasi negara kita. Padahal bukan masalah pilkada langsungnya. Akar permasalahannya adalah masih ada partai politik yang mencalonkan anggotanya yang diduga bermasalah atau bermasalah,” kata Titi. Partai politik yang mau menentukan kandidat, ujar dia, seharusnya bertanya kepada lembaga survei.
RICKY WATTIMENA