TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak jadi kambing hitam dalam polemik calon tunggal di pemilihan kepala daerah serentak 2015. Menurut Husni, KPU telah berupaya maksimal dengan memperpanjang masa pendaftaran satu kali pada 1-3 Agustus lalu. Padahal, kata dia, hal itu tak diatur sama sekali dalam Undang-Undang Pilkada.
Dalam rapat konsultasi dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor terkait dengan pilkada beberapa waktu lalu, kata Husni, Dewan Perwakilan Rakyat justru menolak opsi penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk antisipasi calon tunggal.
"Dalam pertemuan dengan lembaga negara. Ketua dan Wakil Ketua DPR menyatakan menolak perpu," kata Husni dalam rapat kerja dengan Komisi Pemerintahan DPR, Kamis, 20 Agustus 2015.
Jokowi tentu tak bisa berbuat banyak bila DPR menolak perpu. Musababnya, perpu perlu persetujuan DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.
Karena opsi perpu dicoret, muncul solusi untuk memperpanjang masa pendaftaran yang kedua, yaitu 9-11 Agustus lalu lewat rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Presiden setuju mengoptimalkan fungsi Bawaslu. "Kalau rekomendasi Bawaslu keluar, maka bersifat final dan mengikat bagi KPU," kata Husni.
Pembelaan Husni ini muncul akibat sejumlah anggota Dewan di Komisi Pemerintahan yang mengeluhkan kurangnya inisiatif KPU untuk mengantisipasi penundaan pilkada. Arteria Dahlan dari Fraksi PDIP, misalnya, terus mencecar KPU karena mengumumkan penundaan pilkada tanpa rasa bersalah di empat daerah dengan calon tunggal. "Apakah ini tidak melanggar hukum, menunda pilkada lalu diganti pelaksana tugas," ujar Arteria. "KPU melanggar undang-undang pemerintahan daerah."
Disindir KPU, Ketua Komisi Pemerintahan Rambe Kamarulzaman membela pimpinan DPR. Menurut dia, opsi perpu dianggap tak perlu karena hanya sedikit daerah dengan calon tunggal. "Perpu itu kewenangan presiden. DPR menjawab tidak perlu karena tidak ada kegentingan itu," ujar Rambe.
INDRI MAULIDAR