Selain mengambil langkah hukum, Vitalis akan mengambil langkah politik, yakni mengumpulkan masyarakat adat dan rakyat Papua Barat guna membahas otonomi khusus yang tak berhasil. "Kami bisa saja bilang bahwa pelaksanaan otonomi khusus tak berhasil dan mempertimbangkan untuk melepaskan diri," kata dia.
Pakar otonomi daerah, Djohermansyah Djohan, mengatakan rancangan peraturan daerah usulan MRP Papua Barat tidak bisa disahkan karena tak memiliki cantolan undang-undang di atasnya. Menurut Djo—panggilan Djohermansyah—Papua Barat sebaiknya menunggu hingga beleid revisi otonomi khusus disahkan supaya ada landasan hukum yang kuat apabila ingin memprotes hasil penetapan calon KPU.
Mengenai ancaman memundurkan pemilihan kepala daerah, kata Djo, adalah upaya emosional. "Proses pilkada kan sudah dimulai. Apabila dimundurkan, tentu akan merugikan pasangan calon dan anggaran KPU daerah," ujarnya.
Ancaman itu—jika dikabulkan oleh pemerintah—juga akan merugikan sejumlah calon yang dianggap bukan putra asli daerah. Misalnya Edy Budoyo, yang menjadi calon Wakil Bupati Manokwari, Ivan Ismail Madu (calon Bupati Fakfak), atau Lukman Kasop (calon Wakil Bupati Sorong Selatan). Padahal, secara konstitusi, mereka memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya.
Ketua Fraksi Otonomi Khusus Papua, Yan Yoteni, mengatakan MRP selalu berunding dengan pemerintah, DPR Komisi II, dan KPU supaya aturan ini bisa masuk Undang-Undang Pilkada, tapi rupanya usulan tersebut diabaikan. "Jadi tak ada alasan bagi kami untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah sesuai jadwal apabila peraturan daerah khusus tak disahkan," kata dia.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sumarsono mengatakan akan mendiskusikan usulan ini dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; serta KPU. "Secara normatif memang tidak mungkin, namun secara substansif dipahami," katanya. Persoalan otonomi khusus, menurut Sumarsono, bisa diselesaikan melalui diskusi.
Selanjutnya >> Tarik-Ulur Aturan demi Putra Daerah