TEMPO.CO, Jakarta - Sepuluh tahun setelah penandatanganan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah, dalam prakteknya masih ada sejumlah persoalan. Bahkan, Aceh dinilai belum sepenuhnya damai. Baik dalam kehidupan sosial-politik maupun beragama. Itu merujuk sejumlah kasus yang terjadi belakangan ini di Aceh, seperti menurunkan khatib yang sedang membawa khutbah Jumat hingga kasus pemaksaan kehendak satu kelompok terhadap kelompok lain.
“Beribadah belum tenang di Aceh. Ada kelompok yang memonopoli kebenaran sesuai dengan selera mereka,” ujar tokoh masyarakat Aceh di Jakarta, H Ghazali Abbas Adan, saat berorasi dalam Refleksi 10 Tahun Damai Aceh yang diadakan Komunitas Jambo Aceh Ciputat (JAC) di Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu, 15 Agustus 2015.
Menurut dia, di mana pun tidak pernah ada kejadian khatib yang sedang membawa khutbah diturunkan dan dianiaya. “DI seluruh dunia tidak pernah terjadi. Tapi di Aceh ada,” ujarnya. Ia sendiri mengaku pernah dipaksa turun dari atas mimbar saat sedang memberi ceramah pada sebuah acara maulid. Namun ia bersikeras tidak turun. “Ditarik ramai-ramai, tapi saya tidak turun. Sampai sobek baju saya. Saya tidak takut,” tutur Ghazali yang kini anggota DPD RI ini.
Kejadian terakhir, menurut Ghazali, adalah pemaksaan tata cara tertentu dalam beribadah di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh oleh sebuah kelompok.
Ia menggambarkan bahwa proses menuju perdamaian itu tidak mudah. Ia bercerita bagaimana alotnya ketika ia menjadi anggota MPR dan mengusulkan agar dilakukan dialog dengan GAM. Ada saja yang tidak setuju. Namun, akhirnya, Ghazali bersama anggota MPR lainnya berhasil memperjuangkan agar pemerintah berdialog dengan GAM dan itu dicantumkan sebuah Tap MPR. Sehingga ketika ada politisi tidak setuju Dialog Helsinki, “Kata Jusuf Kalla, itu Tap MPR,” ujarnya.
Menurut Ghazali, Jusuf Kalla memang orang paling getol mendorong penyelesaian konflik di Aceh. “Dia tidak ingin Aceh berdarah-darah,” ujarnya. Jusuf Kalla bersama tokoh-tokoh lain baik di pemerintahan maupun tokoh Aceh terus mencari cara agar kasus Aceh bisa diselesaikan dengan baik dan bermartabat.
Ghazali menyebut salah satu tokoh Aceh yang berperan dalam perdamaian itu adalah Mahyuddin Adan. Ia yang mempertemukan tim pemerintah dengan tokoh-tokoh Aceh, termasuk melobi tokoh-tokoh GAM. “Kalau kami menginap di Kuala Lumpur (dalam proses dialog itu), dia (Mahyuddin) yang tanggung penginapan,” tutur Ghazali.
Adapun aktivis perdamaian Aceh, Islamuddin Ismady, menyebut masih banyak sekali kelemahan dalam penerapan perdamaian di lapangan. Masih banyak orang Aceh tidak puas dengan kondisi itu. “Dan itu menjadi tanggung jawab kita semua,” ujar mantan Wakil Wali Kota Sabang ini. Maka itu, ia mengajak masyarakat Aceh mengisi perdamaian ini dengan baik. “Perdamaian itu sangat mahal.”
Ia juga menceritakan pengalamannya semasa konflik. Suatu ketika saat berada di Jakarta untuk mengikuti sebuah acara, pemerintah menerapkan darurat militer di Aceh. Kala itu, ia salah seorang aktivis SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh), yang sejumlah anggotanya ditangkap dan dipenjarakan. Akhirnya, ia memutuskan tinggal di Jakarta. Demi keamanan, Islamuddin kemudian mendaftar di sekolah pascasarjan Universitas Indonesia. “Dan diterima,” ujarnya. Dengan kartu mahasiswa itu ia mengaku menjadi aman dan bebas ke mana-mana.
Refleksi ini adalah kegiatan pertama Jambo Aceh Ciputat. “Ini halal bi halal sekaligus refleksi 10 tahun perdamaian Aceh,” ujar Fahmi Mada, ketua panitia acara itu. Fahmi menuturkan pada 26 Desember 2015 nanti kelompok ini juga akan mengadakan peringatan 11 tahun tsunami Aceh.
MUSTAFA ISMAIL