TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengaku tak kecewa dengan putusan Presiden Joko Widodo yang menolak meneken prasasti tujuh megaproyek di DPR. Dewan tetap akan menganggarkan proyek gedung itu dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. “Pasti memasukkan, karena itu bagian dari rencana,” kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 14 Agustus 2015. “Nanti dilakukan bertahap."
Dewan akan membangun gedung yang akan menghabiskan dana Rp 124 miliar. Dewan mengungkapkan rencana proyek pembangunan kawasan terpadu parlemen pada Maret lalu. Rencana itu, ucap Fahri, bertujuan mengangkat kewibawaan DPR. Mereka menggagas museum, perpustakaan, pusat kunjungan parlemen, pusat kajian legislasi, alun-alun demokrasi, gedung ruang tenaga ahli dan anggota Dewan, serta kawasan permukiman Dewan.
Proyek yang akan langsung dipimpin kuasa pengguna anggaran Sekretariat Jenderal DPR itu semula mendapat penolakan. Namun Menteri Sekretaris Negara Pratikno sempat menuturkan Jokowi menyetujui pembangunan gedung tersebut. "Presiden tidak keberatan untuk pembangunan perpustakaan dan museum," ujar Pratikno di Kompleks Parlemen, 28 April 2015.
Kemarin Presiden tidak meneken prasasti pembangunan gedung DPR yang telah siap dilakukan seusai sidang nota keuangan di DPR, Jumat, 14 Agustus lalu. Prasasti ini dianggap sebagai simbol pembangunan tujuh gedung tadi.
Dalam pidato pembukaan sidang DPR 2015-2016, Ketua DPR Setya Novanto meminta Presiden meneken prasasti tadi. Tapi, ketika mengunjungi museum, Jokowi tak membubuhkan tanda tangan. Ia hanya melihat-lihat proyek tersebut bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pimpinan DPR selama sekitar 15 menit.
Lima pemimpin DPR sempat meresmikan titik lokasi pembangunan alun-alun demokrasi. DPR juga sudah merombak tampilan museum di lantai 2 gedung MPR. Sebuah prasasti pencanangan pembangunan telah disiapkan, lengkap dengan nama Ketua DPR Setya Novanto dan Presiden Joko Widodo tertanggal 14 Agustus 2015.
"Yang penting, kami sudah jelaskan kepada Presiden bahwa DPR punya sejarah panjang," kata Fahri. "Tapi, suatu hari, citra politik kita menurun, makanya perlu museum agar masyarakat mengingat."
ANANDA TERESIA | PUTRI ADITYOWATI