TEMPO.CO, Subang - Ratusan peserta sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di Subang, Jawa Barat, yang dihelat anggota DPR, Maruarar Sirait, akhir pekan lalu, mengeluhkan mahalnya harga bahan pokok dan pungutan liar di sekolah negeri.
Salah seorang peserta sosialisasi, Asep, misalnya, mengeluhkan mahalnya harga cabai rawit, terigu, minyak goreng, dan beras. Padahal, bulan puasa dan Lebaran sudah berlalu hampir sebulan.
"Harga cabe rawit, misalnya, sekarang menembus Rp 60 ribu padahal sebelumnya hanya Rp 16 ribu per kilogramnya," kata pedagang gorengan dari Kecamatan Cisalak itu.
Adapun Didin, pedagang bakso dan mi ayam, mengeluhkan ihwal masih tingginya harga daging sapi. Saat ini harganya Rp 110 per kilogram hingga Rp 130 ribu per kilogram. “Padahal sebelum bulan puasa Rp 95 ribu per kilogramnya," ujarnya.
Asep dan Didin juga mengadukan masih terjadinya pungutan liar di sekolah menengah pertama negeri. Keduanya mengetahui semua pembiayaan pendidikan di sekolah sudah digratiskan oleh pemerintah melalui sejumlah program, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Namun, tetap saja ada pungutan dengan bermacam-macam dalih, yang terkesan mengada-ada. "Kalau dulu istilahnya biaya bangunan, sekarang buat beli meja dan bangku, besarnya Rp 200 ribu per siswa," ucap Asep.
Dana beli bangku dan kursi, kata Asep, diberlakukan kepada semua siswa yang mulai masuk tahun ajaran 2015-2016.
Ara, panggilan akrab Maruarar Sirait, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu dengan talaten mendengarkan berbagai keluhan dan pengaduan dari masyarakat bawah itu. Legislator asal daerah pemilihan Subang-Majalengka-Sumedang itu berjanji meneruskannya kepada para pihak yang berwenang mengatasinya.
"Masalah mahalnya harga bahan pokok dan masih adanya pungutan di sekolah negeri akan saya sampaikan kepada para menteri terkait, termasuk kepada Presiden Jokowi," tuturnya.
Menurut Ara, mahalnya harga bahan pokok di pasaran tidak mencerminkan asas Pancasila, satu di antara Empat Pilar Kebangsaan. Termaktub dalam sila kelima Pancasila adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
"Karena tidak sesuai asas Pancasila, maka harus terus diperjuangkan supaya keadilan sejati itu benar-benar dinikmati masyarakat, terutama masyarakat bawah," kata Ara.
NANANG SUTISNA