TEMPO.CO, Jakarta - Narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Lowokwaru, Malang, sering berbuat onar. Bahkan Kepala LP Lowokwaru periode sebelumnya, Tholib, pernah mendapat surat ancaman. Surat tersebut ditulis narapidana dan diberikan langsung kepada Tholib. "Saya pernah diancam, ancaman keras. Sudah risiko, saya harus lebih waspada," kata Tholib kepada Tempo, Selasa, 13 Januari 2015.
Menurut dia, narapidana terorisme tak pernah menghargai dan menghormati orang lain. Namun Tholib tak membalas perlakuan mereka. Meski Kepala LP Tholib digantikan Enny Purwaningsih, sikap para napi terorisme tak pernah berubah. Mereka tak pernah menjawab sapaan atau salam petugas LP. "Diajak bicara, dia malah memalingkan muka," ujar Kepala Bidang Pembinaan, Karto, Ahad, 9 Agustus 2015.
Petugas juga mengajak narapidana terorisme untuk bersosialisasi dengan narapidana yang lain. Namun kadang mereka keras dan menolak untuk bersosialisasi atau berbaur. "Mereka berkelompok, enggan bergaul," tutur Tholib.
Mereka ditempatkan di blok 12, terpisah dari narapidana lain. Setiap narapidana terorisme menempati ruangan sendiri. Petugas mencegah agar para narapidana terorisme tak menyebarkan keyakinannya kepada narapidana lain.
Petugas LP Lowokwaru juga berusaha menambah keterampilan narapidana terorisme. Namun, di bengkel tersebut, banyak benda tajam yang khawatir disalahgunakan. "Daripada berisiko, mereka tak bisa mengikuti pelatihan keterampilan," tutur Tholib.
LP juga rutin setiap pekan mengadakan hafalan dan membaca Al-Quran. Program yang diselenggarakan di Pesantren At Taubah yang terdapat di dalam LP Lowokwaru itu diasuh seorang tokoh agama setempat. Santri berasal dari narapidana, termasuk narapidana terorisme. "Juga mendapat bantuan konsultasi dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan yayasan yang peduli deradikalisasi teroris," ucap Tholib.
Untuk usaha deradikalisasi, BNPT tengah menyusun panduan dalam menangani narapidana terorisme. Mereka, kata dia, sulit diajak komunikasi. Namun, berbeda dengan narapidana terorisme, M. Cholily, kurir pelaku Bom Bali, Azhari, yang juga sempat menyembunyikan pelaku terorisme Noordin M. Top selama di Malang. Cholily mudah bergaul dan punya banyak teman di dalam LP Lowokwaru, Malang. Cholily mengakhiri masa hukuman 6 Agustus 2015. "Seperti Umar Patek di LP Porong yang pernah menjadi petugas pengibar bendera," ujar Tholib.
Narapidana terorisme berulah pada Sabtu, 8 Agustus 2015. Setelah bentrok dengan sipir, mereka sempat jadi sasaran kemarahan napi lain. Sembilan narapidana terorisme itu akhirnya dipindahkan. Mereka adalah Agung Hamid dengan hukuman seumur hidup, Muhammad Tamrin yang divonis 3 tahun dan 5 bulan, Fadli Sadana (dihukum 5 tahun), Wagiono (10 tahun), Budi Utomo (10 tahun), Budi Supriantoro (8 tahun), Agung Fauzi (9 tahun), Willam Maksum (12 tahun), dan Khoirul Ikwan (8 tahun).
EKO WIDIANTO