TEMPO.CO , Jakarta - Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menyiapkan anggaran darurat kekeringan sebesar Rp 10 miliar, menyusul ditetapkannya status darurat kekeringan oleh pemerintah Bojonegoro pada 1 Juli 2015 lalu.
Dana Rp 10 miliar itu bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2015. Pemakaiannya untuk beberapa program selama kemarau 2015, terhitung sejak Juni hingga November mendatang, di antaranya untuk pembuatan water treatment mini di sekitar embung (bendungan kecil), mengatasi rawan pangan, hingga air bersih untuk 430 desa di 28 kecamatan jika terjadi puncak kemarau.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro Andi Sudjarwo mengatakan dana darurat kekeringan sudah tersedia di bagian keuangan. Tinggal bagaimana mengelolanya saat penanganan kekeringan tahun ini. ”Anggaran sudah siap,” ujar Andi dalam Rapat Koordinasi Kekeringan di kantor Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Sumber Daya Air (UPT-PSDA) Wilayah Sungai Bengawan Solo, di Bojonegoro, Kamis, 6 Agustus 2015.
Andi mencontohkan, di Bojonegoro terdapat lebih dari 180 embung yang tersebar di sejumlah desa di bagian selatan. Dari sekian embung tersebut, terdapat embung yang dilapisi geo-membran (pelapis antibocor di dinding embung). Jumlah embung geomembran sebanyak lebih dari 25 unit. Seharusnya, air di embung yang sudah dilapisi geomembran itu sudah bisa dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, karena belum terbiasa, warga hanya menggunakannya untuk pertanian.
BPBD Bojonegoro kini tengah membuat program water treatment di sekitar embung. Tujuannya adalah mengelola air dari embung untuk kebutuhan sehari-hari. Air embung yang telah diproses dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Hal ini bisa mengurangi ketergantungan warga yang mengalami kekeringan dari kiriman air.
Di Bojonegoro, desa-desa yang sudah membangun embung geomembran di antaranya adalah Dusun Jintel, Desa Megale, Kecamatan Kedungadem. Ukuran bangunan embung rata-rata 60 x 70 meter, termasuk area pendukungnya, sekitar 1 hektare. Proyek embung geomembran dibangun pada Agustus 2013. “Kini banyak manfaatnya,” ujar Kepala Desa Megale, Abdul Kanan, kepada Tempo, Rabu, 5 Agustus. Dia menyebutkan, meski airnya menyusut karena kemarau, sebagian masih bisa dimanfaatkan.
Di Bojonegoro, 36 desa yang tersebar di 11 kecamatan dari total 28 kecamatan di Kabupaten Bojonegoro mengalami krisis air bersih. Jumlah daerah yang mengalami krisis air bersih akan terus meluas. Kemarau diperkirakan berakhir pada Oktober mendatang.
SUJATMIKO