TEMPO.CO, Batu - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat enam anak meninggal setelah mengikuti masa orientasi sekolah (MOS). Korban MOS tersebar di Tuban, Tasikmalaya, Medan, Bintan, Bekasi, dan Garut. "Stop MOS yang mengandung unsur kekerasan," kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait, Kamis, 6 Agustus 2015.
Sebelum diselenggarakan MOS, Arist mengaku telah meminta Menteri Pendidikan untuk menghentikan MOS. Tapi setelah jatuh korban jiwa, katanya, tahun depan MOS harus ditiadakan. Jika ditemukan unsur pidana kekerasan, Arist mendesak agar sekolah ditutup. Seluruh pelajar dipindah ke sekolah lain. "Pihak yang bertanggung jawab harus dihukum untuk memberikan efek jera."
Sementara mengenai kasus kematian siswa SMP Flora, Evan Christoper Situmorang, Arist meminta polisi melanjutkan penyidikan. Menurutnya polisi terlalu terburu-buru menyimpulkan.
"Polisi tak berwenang mengumumkan kematian karena sakit. Seperti juru bicara sekolah saja." Hanya dokter, kata dia, yang bisa menentukan penyebab kematian melalui pemeriksaan kesehatan atau otopsi. Polisi harus menyelidiki kemungkinan unsur pidana dalam kasus itu. Mengenai riwayat penyakit sekolah tak pernah memeriksa kesehatan peserta MOS.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise melarang sekolah menyelenggarakan MOS dengan kekerasan fisik. Kementerian menginstruksikan lembaga pemberdayaan anak di kota/kabupaten dan provinsi untuk mengawasi penyelenggaraan MOS. "Mereka bertugas memantau dan melindungi anak."
MOS, kata Menteri, seharusnya cukup dengan pembinaan mental, pemahaman Pancasila, psikologis, dan membina perilaku. Pelajar harus mendapat pembinaan untuk bekal sekolah di jenjang lebih tinggi. "Bukan zamannya masih ada kekerasan."
EKO WIDIANTO