TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan belum saatnya menurunkan atau bahkan menghapus syarat ambang batas pencalonan atau parliementary threshold. Adanya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah tahun ini tak melulu disebabkan oleh syarat ambang batas.
Kalla mencontohkan di Surabaya, PDIP hanya menguasai 20 persen suara di parlemen daerah. Artinya, 80 persen suara dikuasai partai lain. "Tapi yang 80 persen tak mau mendaftar. Jadi bukan hanya soal threshold, alasannya bermacam-macam," kata Kalla, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis, 6 Agustus 2015.
Hal yang sama juga terjadi di Kota Samarinda. Ada pasangan calon yang awalnya sudah mendaftar, tapi kemudian malah mengundurkan diri.
Batas ambang maksimal juga tak seharusnya dihapus karena berfungsi sebagai instrumen penyeleksi calon. Menurut Kalla, jika tak ada ambang batas, maka siapa saja bisa mendaftar tanpa seleksi. "Kalau kebanyakan juga tak terlalu bagus," ujarnya.
Namun, kata Kalla, saat ini pemerintah terus mengkaji kebijakan yang bisa memudahkan pencalonan kepala daerah. Kalla mengakui bahwa saat menyusun Undang-Undang Pilkada, adanya calon tunggal memang tak diantisipasi. Kalla berkata hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa. Menurut dia, undang-undang kadang memang harus direvisi untuk melihat kenyataan yang ada.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra sebelumnya mengatakan bahwa munculnya calon tunggal disebabkan adanya keharusan partai bergabung uuntuk memperoleh 20 persen kursi DPRD. Padahal, menurut dia, sangat jarang ada satu partai yang mempunyai 20 persen kursi di DPRD.
Karena itu, Yusril menyarankan agar syarat 20 persen kursi DPRD itu tidak perlu ada lagi. Ia mengatakan dasar pemikiran angka 20 persen ini juga tidak jelas.
FAIZ NASHRILLAH