Mencemarkan Nama Baik
KITAB Undang-Undang Hukum Pidana yang mulai diundang-undangkan pada 1915--ketika pemerintahan kolonial Belanda masih mencengkeram Indonesia--menerapkan banyak aturan yang mengancam penebar kebencian. Dalam istilah hukum, pasal-pasal tersebut lazim dikenal dengan sebutan haatzaai artikelen.
Konsep haatzaai artikelen digagas setelah Belanda merombak sistem pemerintahannya menjadi monarki konstitusional pada pertengahan abad ke-19. Sejak itu, kekuasaan raja menjadi sangat terbatas dan tidak memiliki kekuasaan eksekutif. Raja hanya menjalankan fungsi dan simbol sebagai kepala negara. Namun pembatasan kewenangan itu diimbangi dengan perlindungan terhadap martabat raja.
Pasal yang mengatur penyebaran kebencian terhadap raja adalah pasal 134, 135, dan 136. Lewat aturan itu, seseorang yang menghina raja, ratu, dan keluarga raja bisa dikenai sanksi pidana. Ancaman serupa juga berlaku bagi mereka yang menghina gubernur jenderal, yang merupakan kepanjangan tangan raja atau ratu.
Setelah Indonesia merdeka dan kitab pidana Belanda dijadikan rujukan utama untuk membuat KUHP, pasal soal penebar kebencian ini tidak dihapus, bahkan dipakai oleh Orde Baru untuk membuat pemerintahan mereka tak tersentuh kritik.
Aturan itu tak lagi berlaku setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal tersebut pada 2006. Meski demikian, pidana masih bisa mengancam siapa pun lantaran KUHP masih memberlakukan pasal defamasi (pencemaran nama), seperti yang diatur dalam Pasal 310 (penistaan), Pasal 311 (fitnah), Pasal 315 (penghinaan ringan), dan Pasal 317 (pengaduan palsu). Roh defamasi juga diadopsi saat pemerintah memberlakukan UU Informasi dan Transaksi Elektronik pada 2008.
Pasal pencemaran nama baik mulai banyak ditinggalkan negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi. Aturan itu dinilai berdampak pada pemberangusan hak setiap warga negara untuk berekspresi dan menyatakan pendapat. Belanda termasuk salah satu negara yang mendukung pencabutan pasal tersebut.
RIKY FERDIANTO | RISET