Apalagi ada nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri yang ditandatangani oleh Kapolri saat itu, Timur Pradopo, dan Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Isi nota kesepahaman itu di antaranya adalah, jika ada laporan masyarakat yang masih dalam ruang lingkup jurnalistik, maka polisi akan menunggu saran dari Dewan Pers sebelum kasus itu diproses secara pidana.
Bagir mengaku telah menerima dan membahas surat tersebut. Menurut dia, materi yang dipersoalkan Romli merupakan bagian tak terpisahkan dari produk jurnalistik. Itulah sebabnya Dewan Pers berkepentingan untuk ikut dilibatkan. “Karena ini dimuat media, maka kami surati Mabes Polri untuk membicarakan ini. Agak kurang tepat jika polisi tidak mempelajari MoU tersebut,” ujar mantan Ketua Mahkamah Agung itu.
Masalah ini diakui Bagir menambah panjang daftar kasus yang harus mereka tangani. Ia bahkan sempat menyampaikan kegalauannya terhadap kondisi pers nasional kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno. Dalam banyak kasus, kata dia, tugas jurnalistik acap kali ditunggangi oleh kepentingan penyidikan kasus pidana. “Kegalauan itu saya sampaikan secara terbuka kepada menteri,” katanya.
Kegalauan Bagir boleh jadi benar karena belakangan ini sejumlah narasumber pers diperkarakan. Sebelumnya ada hakim Sarpin Rizaldi yang melaporkan dua komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurahman Sahuri. Mereka dilaporkan karena kepada pers menyatakan bahwa Sarpin telah melanggar etika saat memutus kasus Budi Gunawan.
Namun upaya Dewan Pers sepertinya masih bertepuk sebelah tangan. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso mengaku tak akan menjadikan putusan Dewan Pers sebagai rujukan pertimbangan penyelidikan. Bareskrim juga akan terus menggali keterangan dari wartawan dan media yang memuat pernyataan yang dianggap merugikan pelapor. “Ikut saja prosesnya,” katanya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Suwarjono menilai penanganan kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap narasumber. Menurut dia, kasus itu memiliki dampak serius terhadap fungsi kontrol yang dimandatkan Undang-Undang Pers. Jika komentar bernada kritis dianggap melanggar hukum, ia memperkirakan tak akan ada lagi narasumber yang berani bicara kepada wartawan. “Ini berbahaya bagi fungsi pengawasan pers,” katanya.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai penyelidikan kasus itu merupakan upaya sistematis yang hendak memangkas gerakan masyarakat sipil. Suara kritis yang mereka lontarkan justru berbuah ancaman pidana. Menurut dia, kondisi itu merupakan rapor buruk bagi kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo. “Gerakan antikorupsi sekarang sedang dipangkas pelan-pelan,” katanya.
RIKY FERDIANTO | DEWI SUCI | MOYANG KASIH
Selanjutnya >> Mencemarkan Nama Baik