TEMPO.CO, Yogyakarta - Forum Pemantau Independen (Forpi) Kota Yogyakarta menerima aduan pelaksanaan masa orientasi sekolah (MOS) dari wali murid yang dianggap memberatkan secara psikologis kepada anak didik.
"Ada satu aduan yang masuk pada hari pertama pelaksanaan orientasi sekolah, sifatnya psikologis," ujar Divisi Pengaduan Forpi Kota Yogyakarta Baharuddin Kamba, Senin, 27 Juli 2015.
Aduan itu diterima seorang wali murid yang anaknya bersekolah di Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Yogyakarta. Menurut Kamba, sebelum memasuki masa orientasi resmi, dua hari sebelumnya, murid sudah diminta kerja berkelompok dengan beban tugas yang dirasa berat.
Beban tugas itu, ujar Kamba, sebenarnya hanya pengerjaan soal-soal mata pelajaran, seperti kimia-fisika, dengan cara berkelompok. Orang tua murid protes lantaran siswa-siswa ini masih baru dan saling terpencar. Ada pula yang berada di luar kota. Hingga akhirnya tugas hanya membebani satu pihak.
"Tidak ada unsur kekerasan atau pelonco, tapi orang tua keberatan karena psikologis anak yang tertekan," kata Kamba, yang langsung melakukan pemantauan.
Kepala Sekolah Menengah Negeri 3 Kota Yogyakarta Dwi Rini Wulandari, setelah pemantauan Forpi, menuturkan bahwa pelaksanaan pra-masa orientasi di sekolahnya bebas kekerasan fisik. Juga tak ada kewajiban menggunakan atribut-atribut aneh.
"Jika ada tugas mengerjakan soal-soal, itu juga tak ada sanksi beratnya, hanya untuk menyegarkan ingatan mereka setelah libur panjang, ini sudah tradisi," tutur Rini.
Rini pun meminta para wali murid tidak terlampau sensitif dalam menanggapi program sekolah yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan siswa. "Kami menjaga anak-anak," ucapnya.
Sekretaris Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan Yogyakarta Yuliani menuturkan, pada hari pertama masa orientasi ini, pihaknya belum menemukan adanya tindakan yang mengarah pada perpeloncoan, terutama di Kota Yogyakarta. "Atribut aneh-aneh yang wajib dikenakan siswa juga tak ada," ujar Yuliani.
Hanya, Yuliani menuturkan, saat penerimaan siswa didik baru pada masa Ramadan lalu, pihaknya menemukan indikasi tindakan tak transparan dari sejumlah sekolah di Kabupaten Bantul dan Sleman.
PRIBADI WICAKSONO