TEMPO.CO , Jakarta: Badung – I Kadek Rai Putra Adnyana (21) tampak asyik menggosok sebilah kayu pulet sepanjang 5 meter. Bersama teman-temannya, ia mempersiapkan kayu pulet itu untuk dipakai dalam perayaan tradisi mekotekan Sabtu siang, 25 Juli 2015.
Kayu yang berasal dari pohon pulet itu sudah dipersiapkannya sejak dua hari lalu. "Kayu ini saya ambil dari Desa Kerambitan, Tabanan," kata Kadek ketika ditemui di Bale Banjar Gambang, Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.
Menurut ia, warga Tabanan sudah tahu bahwa setiap menjelang perayaan Kuningan pasti warga Desa Munggu mencari kayu disana untuk mekotekan. Dulu pohon pulet mudah ditemui di Desa Munggu. Namun, kini sulit karena sudah banyak bangunan rumah.
“Pohon ini tumbuh di hutan yang lembab. Paling banyak tumbuh di tepian sungai. Dulu waktu umur saya 16 tahun sering bersama teman-teman mencari langsung ke hutan,” ujarnya.
Sebelum digunakan kayu pulet harus dikupas kulitnya. Setelah itu digosok sampai halus. Bentuk kayu pulet agak bergelombang tidak lurus seperti kayu pada umumnya. Teksturnya sangat elastis dan kuat.
“Ketika disatukan saat mekotekan, kayu ini tidak akan patah walau benturannya keras dan dinaiki orang sampai puncaknya," kata Kadek.
Tiga tahun yang lalu Kadek sempat menggunakan kayu jenis lain untuk mekotekan, karena kayu pulet langka. Waktu itu, kayu yang dia gunakan adalah kayu waru.
“Ketika dinaiki anak kecil saat mekotekan kayunya langsung patah. Teman saya langsung jatuh padahal badannya kecil,” ungkap pria yang sudah mengikuti mekotekan saat berusia 14 tahun.
BRAM SETIAWAN