Dua hari kemudian, pada Selasa, 7 Juli 2015, Gerry meneruskan amplop kepada Syamsir Yusfan, panitera PTUN Medan. Setelah amplop di tangan Syamsir, Gerry melapor kepada OC Kaligis, sekaligus mengabarkan bahwa majelis hakim telah mengabulkan sebagian gugatan kliennya. Gerry langsung balik ke Jakarta hari itu juga.
Namun permintaan duit tak berhenti. Keesokan harinya, Syamsir mengontak Gerry dan mengatakan “hakim mau mudik”. Gerry menjawab ia tak bisa memutuskan sendiri. OC Kaligis langsung menginstruksikan Gerry supaya berangkat lagi ke Medan setelah mendapat laporan soal permintaan Syamsir. “Kau kasih saja amplop yang sudah saya berikan,” OC Kaligis memerintahkan Gerry, seperti disampaikan Haerudin.
Pada Kamis, 9 Juli 2015, Gerry akhirnya menyerahkan amplop terakhir kepada hakim Tripeni Irianto Putro, Ketua PTUN Medan. Pada saat itulah petugas KPK menggulungnya dengan bukti duit US$ 5.000. Menurut Haerudin, Gerry sempat melawan hingga beberapa kancing bajunya lepas. Dia melunak setelah seorang petugas KPK berkata, “Kamu tak usah melawan, kami tahu siapa dalangnya.”
Petugas KPK kemudian membawa Gerry dan Tripeni ke markas Kepolisian Resor Kota Medan. Di sana, Gerry kaget karena Tripeni mengaku bahwa OC Kaligis sudah memberikan besel sebelum persidangan dimulai. Tak berbelit-belit, Tripeni mengatakan di ruangannya masih ada US$ 10 ribu dan Sin$ 5.000 pemberian dari Kaligis.
Hari itu juga KPK menangkap Syamsir Yusfan, Dermawan Ginting, dan hakim PTUN Medan lain bernama Amir Fauzi. Lima hari kemudian, komisi antikorupsi menjebloskan Kaligis ke dalam sel.
Afrian Bondjol, pengacara Kaligis, enggan menanggapi dugaan kliennya memerintahkan penyuapan. “Materi perkara akan sama-sama kami uji di pengadilan,” kata dia. Sebelum ditahan, Kaligis menyatakan tak pernah menginstruksikan anak buahnya untuk menyogok hakim. Adapun penasihat hukum Gerry, Tito Hananta Kusuma, tak membenarkan ataupun membantah pengakuan kliennya itu. “Untuk sementara, kami tidak berkomentar,” ujar Tito.
Sebelum ditangkap KPK pada 9 Juli lalu, Gerry sebenarnya menyadari perbuatannya keliru. Menurut Haerudin, keponakannya itu berulang kali menghubunginya, berkeluh-kesah soal rencana pemberian uang buat hakim PTUN Medan. “Gerry menelepon saya dan ibunya, ketakutan karena harus melakukan pemberian uang,” kata Haerudin. “Tapi ia tak bisa apa-apa karena diperintah oleh bosnya.”
MUHAMAD RIZKI