TEMPO.CO , Denpasar: Penanganan kasus rabies di Bali seharusnya melibatkan desa adat. "Bentuklah Satgas rabies di setiap desa. Warga yang memelihara anjing wajib melaporkan anjing peliharaannya ke petugas, untuk dilakukan pendataan. Termasuk jika pindah tempat tinggal," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali, Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Mahardika pada Kamis, 23 Juli 2015.
Menurut Mahardika, penanganan kasus penyebaran virus rabies terletak pada pentingnya sosialisasi dan kesadaran masyarakat dalam memelihara anjing.
Warga misalnya, jangan sembarangan meliarkan anjingnya. Saat membeli anjing, katanya, harus teliti, apakah anjing tersebut sudah divaksin atau belum.
Jika ditinjau secara teoretis, kata dia, penularan virus rabies dari satu ekor anjing ke anjing lain rata-rata hanya 1 sampai 2 ekor.
"Paling banyak 10 ekor, tapi kemungkinannya kecil. Jadi sebetulnya penyebaran virus rabies ini tidak tinggi," kata pakar virus hewan itu.
Menurut dia, cara eliminasi tidak terlalu perlu dilakukan. Ia mengibaratkan itu seperti pemadam kebakaran yang hanya dilakukan jika tidak ada pilihan lain lagi.
"Eliminasi tidak perlu dilakukan. Saya kira perlu ada reformasi dalam mengatasi rabies, kuncinya ada pada sosialisasi dan mengefektifkan partisipasi publik," katanya.
Berapa pun disediakan uang dan vaksin rabies untuk anjing dan manusia, katanya, tidak akan mampu mengatasi rabies sebelum pelibatan masyarakat secara maksimal.
BRAM SETIAWAN