Keterlibatan sanak famili dalam korupsi masuk kajian KPK sejak 2013. Mulanya, komisi antikorupsi melihat modus rasuah makin canggih. KPK melihat kejahatan itu tak bisa dicegah hanya dengan aturan, tapi juga lewat keluarga. “Melihat angka korupsi dalam data kami semakin tinggi, lantas kami menelusuri apa yang salah. Dari situ kami mengubah perspektif dan menyertakan keluarga sebagai bagian dari perspektif itu,” kata Busyro Muqoddas, mantan pemimpin KPK.
Nyatanya, keluarga malah menjadi mata rantai korupsi. Dalam kajian KPK, menurut Busyro, hal ini lantaran rumah tangga dibangun dengan fondasi materialisme. Agama, misalnya, hanya dijadikan pajangan, bukan tuntunan. “Dalam keluarga begitu pula konsumerisme menjadi gaya hidup sehingga melahirkan keluarga hedonis,” ujar Busyro.
Pendidikan pun dinilai belum menghasilkan masyarakat yang memahami “kemanusiaan” dan “kewarganegaraan”. Akibatnya, kata Busyro, kesadaran publik untuk bersikap antikorupsi tetap rendah. “Masyarakat begitu tak memahami hak-hak dasar dan kewajiban asasinya,” ujar dia. Publik kemudian dipaksa memaklumi korupsi. Misalnya oleh perekrutan pegawai negeri dan promosi pejabat yang penuh kolusi dan menguras uang. Biaya politik yang tinggi dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah kian menyuburkan praktek itu.
Sebab itu, KPK bersungguh-sungguh memberantas korupsi dari unit terkecil di masyarakat: keluarga. Upaya itu dimulai dengan membuat survei di Solo dan Yogyakarta pada 2013. “Intinya, untuk melihat peran keluarga dalam pemberantasan korupsi,” kata Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK, Roni Dwi Susanto.
Tahun lalu, KPK melakukan penelitian di Prenggan, sebuah kelurahan di Yogyakarta, untuk menciptakan modul pencegahan korupsi berbasis keluarga. Hasilnya siap dipublikasikan dalam waktu dekat. Tahun ini, KPK berencana mempraktekkannya di Kabupaten Badung, Bali.
Selanjutnya >> Jejaring Sanak Famili