Paham Lama Kemasan Baru
Islam Nusantara sebenarnya bukan paham baru. Cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan substansi Islam Nusantara versi Nahdlatul Ulama telah dikenal di dunia akademis pasca-Perang Dunia II. "Istilah lainnya disebut Malay-Indonesian Islam atau Southeast Asian Islam," kata dia melalui surat elektronik, kemarin.
Azyumardi menuturkan, istilah Islam Nusantara semula mengacu untuk seluruh wilayah Islam di Asia Tenggara. Namun, setelah Perang Dunia II, posisi Islam dalam negara-negara Asia Tenggara berubah. Di Malaysia, kata dia, Islam menjadi agama resmi negara sehingga terkooptasi sepenuhnya oleh negara. Sedangkan di Indonesia, Islam bukan agama negara, sehingga Islam Nusantara bisa menjadi paham moderat yang inklusif, akomodatif, dan toleran.
"Sebenarnya lebih tepat menyebut Islam Indonesia daripada Islam Nusantara,” kata Azyumardi. “Kecuali 'Nusantara' itu hanya mengacu pada Indonesia, tidak mencakup Islam Malaysia dan lainnya.”
Dengan pendekatan yang moderat, Azyumardi menilai Nahdlatul Ulama dapat menggunakan Islam Nusantara untuk menghadapi paham dan gerakan Islam radikal transnasional. Menurut dia, Nahdlatul Ulama dan sejumlah organisasi massa Islam arus utama lain memang khawatir terhadap ekspansi paham dan gerakan Islam radikal transnasional puritan, seperti Salafi dan Wahabi. "Mereka berusaha menangkalnya melalui penegasan watak Islam Indonesia yang wasathiyah (moderat)," ujar dia.
Muhammadiyah juga melakukan hal serupa. Sementara Nahdlatul Ulama memakai Islam Nusantara, Muhammadiyah memilih konsep "Islam berkemajuan". Meskipun berbeda istilah, Azyumardi mengatakan keduanya mengandung lebih banyak kesamaan sehingga bersifat saling melengkapi.
Azyumardi menganggap Islam Nusantara ataupun Islam berkemajuan dapat menangkal gejala "Arabisasi" dan penyebaran paham Wahabi yang telah meningkat sejak awal 1980-an. "Tetapi tidak banyak umat Islam Indonesia yang tertarik pada salafisme dan wahabiyah karena puritanisme mereka terlalu kering dan primitif," ujar dia.
MAHARDIKA