TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengatakan penetapan pembuat surat edaran yang diduga memicu bentrokan di Tolikara sebagai tersangka masih harus menunggu hasil pemeriksaan.
"Kita tak bisa menuduh sebelum ada bukti yang menguatkan," kata Badrodin di Mabes Polri, Rabu, 22 Juli 2015. (Baca: Jaga Toleransi, Masjid Tolikara Dibuat Menyerupai Gereja)
Baca Juga:
Badrodin menjelaskan, Kepolisian pasti akan mengaitkan insiden yang menewaskan satu orang itu dengan pembuat surat edaran. Walau begitu, polisi tak akan langsung menyimpulkan bahwa bentrokan terjadi akibat surat yang ditandatangani Sekretaris Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Wilayah Tolikara Pendeta Marthen Jingga dan Ketua GIDI Wilayah Tolikara Nayus Wenda itu.
Dua pendeta itu sebelumnya membenarkan informasi bahwa merekalah yang membuat surat edaran itu. Surat edaran bertanggal 11 Juli 2015 yang beredar di media sosial setelah terjadinya kerusuhan saat berlangsung salat Id pada Jumat, 17 Juli 2015m itu dikonsep dan dibuat oleh Marthen bersama Nayus Wenda.
Surat itu, menurut Marthen, ditujukan kepada seluruh umat Islam se-Kabupaten Tolikara dengan tembusan kepada Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo, Kepala Kepolisian Resor Tolikara Suroso, Ketua DPRD Tolikara, dan Komandan Koramil Tolikara. (Baca juga: Evi Susanti, Istri Gubernur Gatot Sering Beri Uang ke OC Kaligis)
Menurut Marthen, surat itu memang memuat larangan beribadah. “Tapi siapa yang menyebarkan dan bagaimana tersebarnya, kami tidak tahu,” kata Marthen kepada Tempo kemarin.
Badrodin mengatakan, selain surat edaran, ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi terjadinya konflik Tolikara. Misalnya pembahasan dalam diskusi dan seminar GIDI serta peraturan daerah yang disebut melarang umat agama tertentu melaksanakan ibadah di Tolikara. "Kami masih menunggu salinan perda larangan itu," ujar Badrodin.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA | MARIA RITA HASUGIAN