Nurmin, saksi mata yang juga jemaah salat Id di markas Koramil, itu mengisahkan ketika rakaat pertama pada takbir kelima (ada tujuh takbir pada rakaat pertama), ia mendengar ada suara lantang yang diteriakkan oleh sejumlah orang. "Tidak ada yang namanya ibadah gini, harus berhenti!" kata Nurmin menirukan suara yang dia dengar itu saat diwawancara Devy Erniss dari Tempo lewat telepon, Selasa, 21 Juli 2015.
Mendengar teriakan tersebut, menurut Nurmin, jemaah salat Id kehilangan konsentrasi dalam beribadah. Tiba-tiba kondisi mulai memanas karena ada saling lempar batu antara orang-orang yang berteriak dan jemaah salat Ied. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan dari aparat. "Semua berlari ketakutan," ujar Nurmin. Keadaan pun mulai ricuh. Nurmin melihat beberapa orang melempar batu ke arahnya.
Menurut Nurmin, sejumlah kios dan rumah warga di sekitar markas Koramil terbakar. Nurmin dan beberapa jemaah salat Id lantas masuk ke dalam kantor Koramil. "Kami berkumpul di situ, takut kena batu," ujarnya. Nurmin mengaku rumahnya pun ikut terbakar. "Tapi, saya tidak tahu siapa yang membakar rumah saya karena banyak orang saat itu," ujar Nurmin.
Keterangan Nurmin sejalan dengan kronologi yang disampaikan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai. Sehari setelah kejadian, atau Sabtu, 18 Juli 2015, Komnas HAM mengeluarkan hasil analisis sementara kerusuhan di Karubuga. Dalam salah satu temuannya, Pigai menegaskan, Komnas menduga kerusuhan di Tolikara dipicu oleh surat edaran GIDI Tolikara, yang diteken Nayus dan Marthen.
Berita Menarik:
Profesi Ini Hasilkan Rp 2,8 Juta per Menit
Anak yang Diculik Hafal PGC, tapi 'Serigala' Lebih Lihai
Tunggu, Jangan Menikah Dulu Sebelum Lihat Survei Ini
Pigai menyayangkan surat itu tidak direspons serius oleh pemerintah daerah Tolikara. Padahal, kata dia, jemaat GIDI tidak berhak melarang umat agama lain beribadah. "Pemerintah tidak mengantisipasi surat edaran itu. Mereka tidak melakukan upaya pencegahaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan," kata Pigai ketika dihubungi Putri Adityowati dari Tempo. Karena protes itu tidak mendapat respons dari aparat di lokasi kejadian, jemaat GIDI marah dan mengamuk.
Kondisi semakin ricuh karena sejumlah kios, rumah, dan musala, dibakar. Menurut Pigai, mereka protes karena sudah memberi larangan, tapi polisi balik menembak warga. "Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah tempat ibadah. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," kata Pigai. "Tapi yang terpenting kerusuhan ini bukan permusuhan antara GIDI dengan umat Islam."
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengakui polisi yang menjaga pelaksanaan salat Id di lapangan Koramil, sempat mengeluarkan tembakan peringatan. Namun, massa mengamuk hingga menyebabkan puluhan kios dan musala di sekitar markas Koramil habis terbakar. Kepolisian telah mengantongi calon tersangka. Sudah ada, tapi kami masih melengkapi alat bukti," kata Badrodin di kantornya, Senin, 20 Juli 2015.
Kementerian Sosial mencatat 153 jiwa dari 38 kepala keluarga menjadi korban akibat penyerangan ini. Selain di Wamena, sebagian warga mengungsi di belakang kantor Koramil dan Polres Tolikara. Hingga kini, berbagai pihak telah mengirimkan bantuan, berupa makanan, pakaian, dan uang tunai. Kapolda Papua memberikan Rp 30 juta, Kapolri dan Bupati Tolikara menyumbang masing-masing Rp100 juta.
MARIA RITA HASUGIAN