TEMPO.CO, Jakarta - Pakar psikologi dari Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono, mengaku tidak terkejut mendengar kabar ada sekolah dasar yang mengajarkan radikalisme kepada siswanya. Menurut dia, paham radikalisme sudah masuk ke kurikulum pendidikan Indonesia sejak permulaan era reformasi 1998. Menurut dia, paham ini merasuki generasi muda melalui sekolah, kampus, majelis taklim, bahkan khotbah Jumat.
"Jadi ini bukan kasuistis saja," kata Sarlito dalam e-mail yang diterima Tempo pada Ahad, 5 Juli 2015.
Sebelumnya, Sarlito membenarkan informasi yang beredar di media sosial ihwal Sekolah Dasar Islam Asshafa Depok, Jawa Barat, yang dituding membuat pentas seni bertema radikalisme. Dalam foto yang diterima Sarlito, tampak anak-anak SD mengenakan ikat kepala bertuliskan huruf Arab dan tutup muka dengan kain sarung. Ada pula anak-anak yang memegang senjata mainan.
Sarlito kemudian merujuk pada sebuah penelitian oleh Bambang Pranowo pada 2011 tentang pandangan beragama generasi muda Indonesia. Riset itu menemukan maraknya pandangan pro-kekerasan, antikafir, anti-Pancasila, dan anti-NKRI di kalangan siswa SMA di Jabodetabek. Bahkan, menurut temuan riset ini, banyak siswa tak mau melakukan upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
"Semua dilakukan dengan sengaja dan sistematis," kata Sarlito. Karena itu, dia menyayangkan sikap pemerintah yang membiarkan isu radikalisme ini terus berkembang. Di Indonesia, kata dia, isu agama dianggap terpisah dari disiplin ilmu lain dan berdiri sendiri. Karena itu, para pejabat tak mau ikut campur di dalamnya.
"Mereka tak mau membangunkan macan tidur," kata Sarlito.
Baca penjelasan Kepala SD Islam Terpadu Asshafa, Tomi Rohili, di sini.
YOLANDA RYAN ARMINDYA