TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 11.817 kemasan cokelat ilegal ditemukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dalam intensifikasi pengawasan selama Ramadan. Hingga 10 Juli 2015, cokelat menjadi temuan pangan ilegal terbanyak, disusul makanan pendamping ASI sebanyak 6.807 kemasan, bumbu 6.043 kemasan, dan permen 3.767 kemasan.
Berdasarkan temuan BPOM, 75 persen pangan dengan nilai ekonomi Rp 21,4 miliar diklasifikasikan sebagai ilegal karena tidak memiliki izin edar, 19 persen barang senilai Rp 5,4 miliar kedaluwarsa, dan 5 persen produk senilai Rp 1,5 miliar rusak.
"Produk yang tidak memiliki izin edar ini banyak ditemukan di daerah perbatasan dan pelabuhan atau pintu masuk, seperti Jakarta, Bandung, dan Batam," kata Roy Sparringa, Kepala BPOM, dalam siaran pers di kantornya, Senin, 13 Juli 2015.
Produk tanpa izin edar umumnya merupakan barang impor dari berbagai negara. Sebanyak 39,9 persen pangan ilegal berasal dari Korea Selatan, 17,4 persen dari Cina, 16,5 persen dari Afrika Selatan, 16,4 persen dari Jepang, dan sisanya dari negara lain, seperti Amerika Serikat, Thailand, Swiss, Malaysia, Singapura, Australia, dan Arab Saudi.
Produk kedaluwarsa ditemukan banyak beredar di daerah yang jauh dari sentral produksi dan distribusi serta sulit akses transportasi, seperti Makassar, Jayapura, dan Gorontalo. Jenis produk yang paling banyak ditemukan kedaluwarsa antara lain biskuit, makanan ringan, bumbu, permen, mi instan, dan tepung.
Sedangkan produk pangan yang rusak banyak beredar di pusat distribusi dengan handling yang buruk. Gudang dan tempat retail yang buruk paling banyak ditemukan di Makassar, menyusul Surabaya, Mataram, Manokwari, dan Jayapura. Produk rusak umumnya berjenis bumbu, minuman sari buah, teh, dan kopi.
NIBRAS NADA