TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan menganggap temuan kandungan klorin dalam pembalut wanita dan pantyliners oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia tidak relevan.
"Zat klorin atau Cl2 yang dimaksud itu memang bukan untuk pembalut, jadi itu tidak relevan," kata Direktur Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang di kantornya pada Rabu, 8 Juli 2015.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472 Tahun 1996 tentang bahan berbahaya diatur larangan penggunaan Cl2 karena mengandung dioksin. Menurut Linda, aturan tak akan diubah karena temuan tak relevan. Ia mencontohkan, di sejumlah negara, tak ada yang membuat aturan khusus mengenai kadar residu klorin dengan alasan bukan poin yang penting.
Linda menuturkan standar pembalut akan didasarkan pada Standar Nasional Indenesia (SNI) 16-6363-2000; pembalut harus berdaya serap minimal 10 kali bobot awal dan tak berfluorensi kuat.
Terkait dengan temuan pembalut dan pantyliners mengandung klorin, menurut Linda, ada kesalahan persepsi. Yang ditemukan oleh YLKI sebenarnya adalah residu klorin dari proses pemutihan. Residu ini tak berbahaya karena bukan gas klorin.
Pada proses produksinya, pembalut wanita melalui proses pemutihan benang selulolid. Metode pemutihan sesuai dengan petunjuk Food and Drug Association (FDA), yakni menggunakan Elemental Chlorine Free (ECF) alias klorin dioksida dan Totally Chlorine Free (TCF) yang menggunakan hidrogen peroksida. Kedua metode ini sudah dinyatakan bebas dioksin.
Residu yang timbul akibat proses ini, menurut Linda, tak berdampak pada kesehatan alat kelamin wanita. Petunjuk dari Food and Drug Association (FDA) pun menyatakan jejak residu klorin pada hasil akhir pembalut wanita masih diperbolehkan.
URSULA FLORENE SONIA